Islam dalam Lintasan Sejarah
Islam dalam Lintasan Sejarah
Hamilton Alexander Rosskeen Gibb
BAB TAREKAT
Sebagaimana disinggung dalam bab di muka, bahwa kekakuan ilmu usul ortodoks diajarkan dalam madrasah-madrasah hingga batas tertentu dapat dibenarkan oleh perselisihan batin dengan ilmu tasawuf. Dibawah pengaruh pengakuan umum, sejumlah kecenderungan yang senantiasa hidup dalam alam pikir tasawuf berkembang cepat. Dalam waktu yang sama, maka dari suatu ketertiban yang dipercayakan kepada gabungan murid-murid yang kecil dan bebas, Sufi telah meluas hingga menjadi jaringan organisasi-organisasi tersebar di seluruh penjuru dunia Islam, dengan susunan tertib, upacara, dan perguruannya sendiri.
Para Sufi yang terdahulu dalam memburu makrifat telah membina dengan sungguh-sungguh serangkaian “tahap” dengan peraturan ketertiban moril pertapaan mereka menyamai “penyucian jalan” orang Kristen. Contoh yang menjadi ciri rangkaian tadi ialah: tobat, pantangan, penolakan, kemiskinan, kesabaran, iman, kepuasan. Sejak zaman al-Hallaj (lihat halaman 100) beberapa kelompok Sufi yang berpengaruh telah mulai menggabungkan pada ketertiban amal sehari-hari cita-cita yang diambil dari doktrin kebatinan atau doktrin Plutinius.
Kecenderungan filsafat itu selama dua abad antara al-Hallaj dan al-Ghazali telah dikukuhkan oleh perembesan “Surat dari saudara-saudara yang suci” merupakan suatu ensiklopedi tentang filsafat alamiah Plutinius Baru yang dipopulerkan, yang berasal dalam kalangan Ismailiyah atau kalangan Syi’ah yang ekstrim. Dibawah pengaruhnya tahap-tahap penyucian yang dahulu dihubungkan dengan suatu tangga yang merupakan derajat-derajat yang naik dari “peresapan” watak manusia, watak malaikat, kekuasaan, kelihaian. Murid baru diterima harus mendaki tingkat-tingkat evolusi jagat hingga ia “kembali menjadi” Allah.
Meskipun cita-cita dan perbendaharaan kata Plutinius Baru menempati tempat penting dalam karya al-Ghazali, semua itu masih dikalahkan dengan bentuk cita-cita menurut Quran yang lama dengan istilah-istilah Islam murni. Satu abad kemudian semua unsur kebatinan yang telah masuk dalam alam pikiran Sufi telah dikerjakan dengan cermat dalam suatu sistem elektik (yang memilih pendapat terbaik dari pelbagai anggapan) oleh pengarang Arab Spanyol Ibn al-Arabi dari Mursia (m. di Damsyik 1240 M.).
Mengingat kebanyakan dari karangannya dan pertentangan yang tidak dapat disesuaikan, tidaklah mudah untuk menyatakan dengan pasti cita-citanya. Tidak dapat disangkal bahwa sistemnya sebagai keseluruhan adalah monis dan panteis. Sambil menunjuk pada naskah-naskah dan alim ulama ortodoks, tafsir dan penjelasannya tidak mengindahkan apa yang berlawanan dengan filsafatnya. Tafsir Quran karangannya merupakan satu karya nekad dari tafsir batin.
Dalam pandangan kaum ortodoks, Ibn al-Arabi tidak lebih dari seorang yang tidak beriman, tetapi karangan-karangannya telah menarik perhatian di seluruh dunia Islam bagian Timur, khusus wilayah Persia dan Turki. Tafsiran kebatinan doktrin Islam yang menurut pernyataannya sendiri telah diwahyukan kepadanya sebagai “khatam, penutup wali-wali” merupakan saingan sistem intelektual bagi ilmu. kalam ahli ortodoks. Hal itu merupakan bahaya yang cukup besar, akan tetapi yang lebih berbahaya ialah pengaruhnya atas pemimpin-pemimpin pergerakan Sufi.
Perguruan-perguruan mistik merupakan lingkungan murid-murid yang tertutup, dan titik berat dialihkan dari pengawasan akhlak sendiri ke pengetahuan metafisika dengan akibatnya kenaikan kerohanian kearah “manusia sempurna,” mikrokosmos Yang Esa dijelmakan kepadanya sendiri. Tidak semua ahli Sufi tertarik pada agama paham pantetis itu, dan sedikit saja paham tersebut merembes kedalam badan besar muslimin yang bertakwa menganut tarekat-tarekat besar; tetapi pintu telah dibukakan bagi penyimpangan-penyimpangan yang kemudian harus disahkan oleh pergerakan Sufi.
Salah satu sifat yang menjadi ciri pernyataan kesusasteraan ahli Sufi kemudian ialah penggunaan (menurut contoh Ibn al-Arabi) bahasa asmara dan kegairahan duniawi untuk menyatakan jamaah yang menggairahkan dengan cinta Ilahi. Bahasa yang dipakai acapkali berbentuk realistis kemanusiaan, hingga sarjana-sarjana Islam kadang-kadang menyatakan keraguan –sebagaimana madah-madah penyair Persia Hafiz– apakah si penyair menggambarkan kesenangan asmara duniawi atau Ilahi.
Perkenalan utama dari Sufi panteis terdapat dalam syair-syair mistik para Sufi Persia yang besar, khusus dari Jabal ad-Din ar-Rumi dan Jami. Berkatalah Jami:
Mata Kekasih melihat apa yang tidak berwujud, menganggap yang tidak berwujud, berwujud,
Walaupun tampak pada-Nya sifat-sifat dan kesaktian-Nya sebagai kesempurnaan tunggal dalam Inti-Nya,
Namun la ingin semuanya tadi dipertunjukkan pada-Nya dalam cermin lain,
Dan bahwa tiap-tiap sifat-Nya yang abadi dijelmakan dalam bentuk bermacam ragam.
Karena itu diciptakan oleh-Nya medan-medan kehijauan waktu dan ruang, dan kebun pemberi kehidupan, dunia,
Sehingga tiap-tiap ranting, daun, dan buah dapat membuktikan kesempurnaan-Nya yang berpanca warna.1
Di tempat lain, ia menggambarkan cita-cita yang sama dalam bahasa yang lebih berfilsafat (dinukilkan dari Ibn al-Arabi)
Zat yang Esa dibahas dengan mutlak … ialah al-Haqq, ‘Yang Nyata.’ Pada segi lain, dibahas dalam aspek jumlah besar dan keadaan banyak, apabila la mempertunjukkan Diri-Nya dalam perwujudan, la adalah Jagat Semesta yang diciptakan. Karena itu jagat ialah pernyataan lahir yang kelihatan dari al-Haqq, dan al-Haqq ialah pernyataan batin yang tidak tampak dari Jagat. Jagat sebelumnya dibeberkan keluar adalah sama dengan al-Haqq, dan al-Haqq setelah pembeberan tadi adalah sama dengan Jagat.
Perkembangan baru Sufi ditolong oleh kemajuan intelek tersebut. Apabila ada doktrin yang harus dipelajari, harus dalam cara teratur. Al-Ghazali telah menyatakan, bahwa “murid harus mempunyai syekh (dalam bahasa Persia: pir) yang memimpinnya. Barangsiapa tidak mempunyai seorang syekh sebagai penunjuk jalan akan dituntun oleh iblis dalam jalan-jalannya. Oleh karena itu, si murid harus berpegang teguh pada syekh, sebagaimana seorang buta lekat pada pemimpinnya ketika berada di pinggir sungai mempercayakan diri kepadanya, jangan menentangnya sedikit pun dan berjanji mengikutinya dengan mutlak. Si murid harus tahu bahwa keuntungan yang didapat karena kekeliruan syekhnya, apabila ia bersalah; lebih besar keuntungan yang diperoleh dari kebenarannya sendiri, apabila ia benar”.
Persatuan-persatuan yang asal mulanya bersifat lemah dan sukarela, waktu Sufi memulai menjadi pergerakan populer, tumbuhlah “persaudaraan” yang teratur dari “orang miskin” atau “pengemis” (bahasa Arab: faqir, Persia: darwisy). Orang-orang saleh dengan kepribadian luar biasa, yang masyhur dengan bakat mukjizat bahkan kesaktian untuk menciptakan sesuatu dikerumuni oleh murid-murid. Untuk menerima murid baru diadakan upacara sederhana atau diambilnya contoh dari upacara penerimaan warga baru persatuan pertukangan Syi’ah atau Qarmati. Pada upacara tersebut si murid harus berjanji akan taat. Kemudian ia hidup dalam hubungan yang rapat dengan syekh atau pirnya, hingga ia mencapai derajat yang lebih tinggi. Setelah itu ia diizinkan keluar untuk mengajar jalan (tariqah) gurunya kepada murid-murid baru di pusat lain.
Dengan demikian, tempat tinggal guru merupakan pusat masyarakat darwisy dan ribat (Persia: changah) didirikan dengan teratur dari sumbangan penganut-penganut dan penyokong-penyokong, hingga para syekh dan murid tidak perlu menjalankan pekerjaan keduniawian, tetapi dapat mencurahkan tenaganya berbakti, beribadat, dan bertafakur. Murid-murid yang telah meninggalkan ribat gurunya acap kali mendirikan ribat ranting. Dengan demikian dari satu pusat tersebar jaringan ribat-ribat meliputi daerah yang luas, “tergabung dengan ikatan kehormatan, ketaatan, dan upacara yang sama terhadap syekh atau pirnya yang asli.”
Apabila pembangun yang asli meninggal dunia (yang tentu saja dihormati sebagai wali), maka salah seorang muridnya menggantikannya sebagai pemimpin masyarakat. Lembaga tadi menjadi suatu ikatan agama tertentu yang boleh dibandingkan dengan ikatan biarawan Kristen. Penggantinya disebut khalifah atau Wali al-Sajadah “waris sajadah (gurunya),” dalam bahasa Persia: Sajadehnisyin dipilih, atau dalam tarekat-tarekat tidak ada pantangan kawin, pengganti pemimpin adalah turun temurun dalam keluarga pembangun tarekat.
Sejak abad kedua belas dan ketika belasan tarekat-tarekat tersebut mulai meluaskan jaringannya di seluruh dunia Islam. Maksudnya ialah memimpin murid-murid dalam “jalan” atau “rintis” masih terlihat pada namanya tariqah. Tarekat itu adalah beraneka warna dalam tahap organisasinya. Ada tarekat yang dibentuk dalam susunan martabat yang naik dengan ratusan ribu pengikut dan penyokong, ada tarekat yang tetap dalam susunan yang lebih bebas daripada sufi-sufi yang bersahaja.
Perbedaan utama terletak dalam upacara mereka dan dhikr. Dalam ciri pendirian keagamaan mereka –apakah mereka kurang atau lebih mentaati ibadat kaum ortodoks– bersifat sabar atau senang berperang, dan lain sebagainya. Keanggotaan biasanya dua jenis: suatu martabat yang lebih tinggi terdiri dari murid-murid yang ditugaskan bermacam-macam pekerjaan ibadat dalam ribat dan mengumpulkan penghasilan, dan suatu badan besar terdiri dari “anggota awam” yang tergabung pada tarekat dan yang menjalankan pekerjaan keduniawian dalam desa atau kota, yang hanya berkumpul pada kesempatan-kesempatan tertentu untuk berpikir.
Penyelenggaraan tarekat-tarekat tadi merupakan salah satu perkembangan yang amat menarik perhatian dalam sejarah Islam. Tarekat adalah pergerakan populer dalam asasnya, dalam caranya menarik anggota, dan menarik perhatian. Tarekat tadi ialah pergerakan populer pertama-tama karena pergerakan Sufi jemu akan doktrin kaku, ahli kalam, dan memudahkan jalan bagi orang yang ingin masuk Islam (karena pendapat umum bahwa “kesederhanaan” Islam dengan sendirinya merupakan daya penarik yang agak dilebih-lebihkan).
Dalam pada itu, tambah lemahnya keyakinan tadi tentu menyebabkan akibat genting. Sebagaimana Sufi mula-mula telah memasukkan kedalam Islam beberapa unsur ibadat dan iman yang lebih tua di Asia Barat, sekarang tarekat-tarekat menunjukkan kelembutan yang luar biasa, bahkan suatu kesediaan yang membahayakan untuk berkompromi dengan kepercayaan dan kebiasaan agama lama di negeri-negeri lain serta membiarkannya, asal saja pernyataan iman mereka sudah jelas.
Akibatnya ialah perubahan yang tidak sedikit dari aspek umum Islam. Apabila hingga abad kedua belas umat Islam merupakan badan sama jenis agak kecil (kendatipun dengan keserakahannya), kemudian Islam meliputi lebih kurang sepertujuh dari semua penduduk bumi dan telah menjadi suatu badan yang dalam hal kepercayaan dan upacara ibadat menunjukkan perbedaan luas, yang tidak disembunyikan oleh penerimaan umum dari upacara dan pernyataan keyakinan yang tertentu, ataupun oleh usaha yang sama dari alim ulama. Bentuk Islam populer berbeda di hampir semua negara Islam, dan acap kali bertentangan keras dengan sistem kaku para ulama ortodoks. Pada pihak lain, alim ulama terus menerus memberikan unsur yang mempersatukan badan yang besar tadi dengan kesabaran berusaha mengajarkan pokok-pokok dasar agama kepada kelompok-kelompok baru masuk Islam atau yang baru setengah diislamkan.
Ditegaskan lagi bahwa diantara tarekat ada perbedaan menyolok dalam hubungannya dengan kaum ortodoks. Salah satu garis pembelah yang istimewa ialah perbedaan antara tarekat-tarekat di kota-kota –yang didirikan dan dipelihara oleh unsur-unsur penduduk kota yang rapat hubungannya dengan alim ulama dan madrasah-madrasah– dan tarekat-tarekat pedesaan, yang terutama tersebar di desa-desa yang –karena kurang terbuka bagi pengaruh para ulama– lebih mudah menyeleweng dari kepercayaan ahli ortodoks yang keras itu.
Hubungannya dengan Syi’ah adalah bekas-bekas hubungannya dengan penyelewengan pada permulaannya, bahwa keturunan kerohanian wali-wali Sufi dikembalikan hingga tokoh-tokoh Syi’ah yang pertama-tama (misalnya Salman al-Farisi), kemudian Khalifah Ali ra. dan Nabi Muhammad saw. sendiri. Lebih-lebih karena dalil asasi bahwa tasawuf atau pengertian tentang pengetahuan ilmu gaib dimiliki oleh tarekat diambil langsung dari ilmu rahasia –yang dengan jalan rahasia– telah diberikan oleh Nabi saw. kepada Ali ra.
Pada pihak lain, Syi’ah beritikad sebagai keseluruhan bermusuhan dengan tarekat-tarekat darwisy ini; karena hampir semua tarekat-tarekat terdapat diantara kaum Sunni. Keadaan sebagian besar darwisy Syi’ah yang malang dan merosot merupakan bandingan menyolok dengan kejayaan yang diperoleh alim ulama Sunni dalam mempertahankan derajat dan panji-panji kaum sunah waljamaah.
Jumlah tarekat dalam dunia Islam amat besar. Disini kami hanya dapat menyebut beberapa contoh tarekat dalam beberapa negara dan mencatat beberapa ciri mereka yang khas. Contoh yang terutama dari tarekat “kota” ialah Qadariyah, yang dinamakan menurut Abd al-Qadir al-Jilani (1077-1166). Beliau asal mulanya seorang ahli bahasa dan ahli hukum Hambali. Karena beliau amat digemari sebagai guru di Baghdad, khalayak ramai mendirikan sebuah ribat untuk beliau di luar pintu kota. Tulisannya pada umumnya aliran kuno, dengan kecenderungan mentafsirkan Quran secara mistik. Semangat pemujaan penganutnya kemudian memberikan kepada beliau semua macam mukjizat dan tuntutan bagi tempat yang terutama dalam martabat mistik.
Dikatakan bahwa beliau mempunyai empat puluh sembilan anak, diantaranya sebelas putra yang meneruskan karyanya dan dengan murid-murid lain menyebarkan pelajarannya ke lain bagian Asia Barat dan Mesir. Pemimpin tarekat dan pemelihara makamnya di Baghdad masih keturunan langsung Syekh Abd al-Qadir al-Jilani. Pada akhir abad kesembilan belas terdapatlah jumlah besar dari cabang-cabang tarekat ini yang meliputi Maroko hingga Indonesia –yang hanya secara kendur hubungannya dengan lembaga pusat di Baghdad– yang tiap-tiap tahun tetap menjadi tempat ziarah.
Pada keseluruhannya tarekat Qadariyah merupakan tarekat paling banyak ragam dan progresif, yang tidak jauh pendiriannya dari paham ortodoks; tarekat tersebut unggul dalam kedermawanan, kesalehan, dan kerendahan hati, segan pada kefanatikan dalam bidang agama maupun dalam bidang politik. Tidak besar kemungkinan bahwa pembangunnya menetapkan suatu sistem keras tentang latihan kebaktian. Sebenarnya latihan-latihan itu berbeda dalam masing-masing cabang. Suatu dhikr yang khas ialah seperti berikut, yang harus dibacakan setelah tiap-tiap salat “Kumohon ampun dari Allah Yang Mahakuasa; sekalian pujian bagi Allah; semoga Allah memberkati Sayidina Muhammad, keluarga, dan sahabatnya; tidak ada Tuhan melainkan Allah”. Masing-masing kalimat diulangi hingga seratus kali.
Kekenduran hubungan antara cabang-cabang Qadariyah menguntungkan perkembangan ranting-ranting. Beberapa diantara ranting-ranting tadi tumbuh menjadi organisasi yang merdeka. Paling penting di Asia Barat ialah tarekat Rifaiyah yang didirikan oleh anak saudara al-Jilani bernama Ahmad al-Rifa’i (m. 1182 M.), juga di Irak. Tarekat ini terkenal dengan pandangannya yang lebih fanatik dan latihan-latihan mematikan hawa nafsu yang berlebih-lebihan dan latihan-latihan kemukjizatan yang luar biasa, misalnya makan gelas, berjalan di atas api, bermain dengan ular, yang telah dihubungkan dengan pengaruh pemujaan Syaman yang bersahaja selama pendudukan bangsa Mongul di Irak dalam abad ketiga belas.
Pada waktu St. Louis menyerbu Mesir dalam peperangan Salib yang ketujuh seorang murid Rifa’i bangsa Mesir, Ahmad al-Bedawi (m. 1276 M.) telah memainkan peranan penting yaitu menggerakkan penduduk melawan para penyerbu. Tarekat yang didirikannya dinamakan Bedawiyah atau Ahmadiyah merupakan tarekat pedesaan yang paling populer di Mesir. Nama tarekat itu terkenal buruk karena melampaui batas sebagai warisan kebiasaan Mesir purbakala sampai waktu ini menyertai pasar malam di sekitar makam al-Bedawi di Tantah, dalam daerah Delta. Dua tarekat lain yang populer di Mesir Bawah ialah tarekat Bayyumi dan Dasuqi, kedua-duanya cabang tarekat Bedawiyah.
Di Afrika Barat Laut pergerakan Sufi telah berkembang, menurut garis-garis yang khas dengan hubungan politik yang lebih kuat. Dalam tiga abad yang pertama dari Islam, reaksi bangsa Berber terhadap penjajahan Arab memperoleh bentuk menganut penyelewengan kaum Khawarij atau Syi’ah. Jumlah terbesar dari masyarakat tetap mempertahankan kepercayaan animis mereka yang serba bersahaja, khusus pada kesaktian sihir wali-wali mereka. Keluarga kerajaan bumiputera yang pertama yang kepentingannya melampaui kepentingan setempat, kaum Murabitin (abad kesebelas), mendirikan pergerakan keagamaan sepanjang garis-garis ortodoks, tetapi mereka dalam jangka yang tidak lama dikalahkan oleh keluarga kerajaan Berber baru, kaum al-Muwahidin (abad kedua belas). Dengan perantaraan pemimpin kerohanian al-Mahdi Ibn Tumart pergerakan al-Muwahidin mulai berhubungan dengan pergerakan Sufi. Semangat keagamaan yang kuat mendatangkan pengaruh Islam untuk pertama kalinya pada badan utama bangsa Berber.
Wakil-wakilnya dalam pergerakan tadi kebanyakan orang-orang setempat, acap kali buta huruf, yang ingin menarik perhatian kawan senegaranya pada pokok-pokok keadaban dan mistik Sufi Timur dan mengislamkannya. Sebagian besar diantara mereka buat waktu tertentu telah turut pada seorang wali termasyhur di Spanyol atau Mesir, dan setelah kembali ke desanya mulai menyebarkan beberapa rukun yang sederhana tentang kebaktian beragama dan penyerahan. Paling terkenal adalah Abu Madijan (m. pada akhir abad-kedua belas), itikadnya hanya dimuat dalam suatu sajak: “Katakanlah: Allah, dan tinggalkanlah semua yang berupa kebendaan atau bertalian dengan dia, apabila kamu ingin mencapai al-Haqq!”
Empat abad kemudian, pimpinan Sufi menggerakkan perlawanan terhadap tekanan Spanyol dan Portugis di Marokko. Bangsa Berber tetap tinggal kaum animis; dan ketekunan pada kepercayaan dan kebiasaan lama telah memberikan suatu sifat khas pada Islam Berber yaitu yang dinamakan “Maraboutism” pemujaan wali-wali yang masih hidup yang memiliki kesaktian sihir (barakah). Pergerakan Sufi di negara-negara Berber memancarkan dua sorotan. Pada satu pihak, ia memancar ke negara-negara Negro, sepanjang Niger, (dengan latar belakang yang sama tentang animisme) marabout alufah setempat menggantikan “dukun” dari pemujaan Fetis Negro. Pada pihak lain, pergerakan telah mempengaruhi Islam Timur dengan perantaraan dua tokohnya yang luar biasa.
Seorang diantaranya tidak lain Ibn al-Arabi, rasul dari paham mistik panteis. Asalnya penganut dari aliran Zahiri dengan kehidupan sederhana, ia telah diterima dalam kalangan Sufi oleh Jusuf al-Kumi, murid pribadi Abu Madijan. Juga al-Sjadhili (m. 1258 M.) telah belajar di Fez di bawah seorang murid lain dari guru tunggal. Al-Sjadhili akhirnya menetap di Iskandariah, ia dikerumuni oleh sekalangan murid. Ia tidak memiliki ribat dan tidak mempunyai bentuk tertentu bagi upacaranya. Ia melarang penganutnya meninggalkan pekerjaan dan jabatannya untuk hidup tafakur. Sedikit lebih lama dari suatu keturunan murid-muridnya mendirikan tarekat sebagaimana biasa dilakukan, yang meluas di Afrika Utara hingga masuk ke Arabia. Kota Mocha khusus menunjuk al-Sjadhili sebagai wali pelindung dan menghormatinya sebagai orang pertama yang minum kopi.
Tarekat Syadhiliyah umumnya terlampau berlebih-lebihan dalam upacaranya, dan lebih menggairahkan daripada tarekat Qadariyah, tetapi menarik perhatian khusus karena banyak cabang-cabang yang didirikan langsung dan bergandengan dengan tarekat Qadariyah. Diantaranya yang terkenal adalah tarekat Iswiyah dengan upacaranya yang termasyhur memarang dengan pedang dan tarekat Derqawa yang ortodoks dan sederhana di Maroko dan Aljazair Barat.
Propaganda Islam diantara orang Turki dan Mongol, berhubungan rapat dengan paham animis, dalam bentuk paham Syaman dan harus memperhitungkan adat-kebiasaan Turki yang telah berakar. Tarekat Turki yang paling tua, tarekat pedesaan –Yeseviyah misalnya– karena adat istiadat Turki telah memiliki sifat yang luar biasa yakni para wanita diperkenankan mengambil bagian dalam dikir tanpa kudung.
Diantara orang Turki Dinasti Osman di Anatolia dan Eropa tarekat yang paling khas baginya ialah tarekat pedesaan lain, tarekat Bektasyi. Tarekat itulah yang dikatakan cabang dari tarekat Yeseviyah telah didirikan pada akhir abad kelima belas, yang bersifat sinkretis luar biasa. Pada satu sudut berhubungan dengan Syi’ah kebatinan, dan pada lain sudut bertalian dengan kebanyakan dari kekristenan populer dan ilmu kebatinan. Para Bektasyi lebih-lebih dari tarekat lain menganggap upacara lahir Islam sebagai barang yang tidak penting yang boleh diabaikan.
Dalam upacaranya banyaklah kesejalanan yang terang dengan upacara kekristenan. Misalnya, sebagai ganti doa umum dikir, mereka mengadakan semacam jamaah dengan saling membagi anggur, roti, dan keju; mereka juga menunaikan kebiasaan pengikraran dosa terhadap baba mereka. Tarekat Bektasyi tadi memperoleh gengsi yang besar karena bertalian dengan prajurit Turki (Yanizar). Setelah para Yanizar ditundukkan dalam tahun 1826, tarekat tersebut lambat laun merosot dan sekarang hanya terdapat di Albania.
Tarekat kota yang utama antara orang Turki Dinasti Osman adalah tarekat Mevleviya (Maulawiyah), yang didirikan oleh penyair mistik Persia yang tersohor Jalal ad-Din ar-Rumi (m. di Konia, 1273). Dikirnya adalah luar biasa karena latihan tarian murid-murid (“darwisy menari”) Setelah Republik Turki menjadi pemerintah duniawi, maka tarekat Mevleviya mundur; sekarang hanya terdapat beberapa tekke (takiyah) saja di Halap, dan kota-kota lain di Timur Tengah.
India-lah tempat agama Islam populer menunjukkan beraneka warna tarekat, upacara, dan kepercayaan yang amat membingungkan. Selain penganut tarekat-tarekat umum dan besar (Qadariyah, Naqsyibandiyah, dan lain sebagainya) dan suatu tarekat penting yang tipenya sama dan khas buat India tarekat Cisyti (didirikan oleh Mu’in al-Din Tjisjti dari Sistan, m. di Ajmir dalam tahun 1236), masing-masing beberapa cabangnya, sejumlah besar muslimin India menggabungkan diri dengan tarekat yang tidak teratur.
Jenisnya mencakup semua macam cabang-cabang mulai dari ranting-rantinq yang kurang baik namanya dari tarekat-tarekat yang teratur, meliputi beraneka warna tarekat yang merdeka –diantaranya tarekat Qalandari yang berkeliling (para Qalandari dalam Hikayat Seribu satu malam)– hingga pengemis atau para fakir yang mengembara dan tidak teratur, mengaku terikat dengan sanggar pemujaan salah seorang suci dan lain-lain. Jumlah jenis-jenis kepercayaan, upacara, adat istiadat, dan lain-lain yang bertalian dengan tarekat-tarekat yang tidak teratur itu barang tentu sama banyaknya dengan jumlah tarekat tersebut.
Didalam beberapa hal, hubungannya dengan Islam hanya namanya saja. Adat kebiasaan dan kepercayaan Hindu dan Hindu purba (yang juga sedikit banyak mempengaruhi beberapa tarekat yang besar) banyak sedikit menguasai tarekat-tarekat tersebut. Latihan-latihan anggotanya telah menyebabkan –lebih dari barang lain– istilah darwisy bermakna buruk.
Selain tarekat-tarekat tadi, pengaruh Hindu juga mengambil bagian yang besar dalam kehidupan keagamaan para buta huruf dan orang muslimin pedesaan yang hanya diislamkan setengah di desa-desa yang tidak dapat dihitung jumlahnya masih mempertahankan pemujaan berhala-berhala; dewa-dewa setempat, dan pemujaan setan meninggalkan bekasnya dalam kehormatan yang acapkali ditujukan khusus oleh wanita pada Syekh Saddu, tokoh mitos.
Tercatat beberapa peristiwa dalam zaman Mughal tentang sati (seorang janda yang turut dibakar bersama-sama pembakaran jenazah suaminya) antara orang muslimin dan beberapa masyaraka yang masih mempertahankan upacara “api suci.” Peraturan kasta telah masuk dalam Islam India. Kedudukan Islam telah digambarkan sebagai berikut oleh salah seorang tokoh Islam dari zaman India Modern, Sir Muhammad Iqbal, (seorang ahli mistik)
“Apakah kesatuan susunan Islam utuh di negeri ini? Petualang-petualang keagamaan mendirikan berjenis-jenis aliran dan tarekat, senantiasa saling bertengkar; dan masih terdapat kasta-kasta dan cabang-cabang kasta sebagai diantara orang Hindu. Sebenarnya kami telah lebih bersifat Hindu daripada orang Hindu sendiri; kami menderita dua macam sistem kasta –sistem kasta keagamaan, keserakahan, dan sistem kasta sosial– yang telah dapat kami pelajari ataupun peroleh sebagai warisan orang Hindu. Inilah salah satu jalan tenang, di mana bangsa-bangsa yang ditundukkan membalas dendam pada penjajahnya.”2
Segala usaha dari tarekat-tarekat yang memiliki asas-asas utama, kecenderungan untuk menjalankan cara-cara yang melebih-lebihi menggunakan ilmu sihir untuk menidurkan sendiri (otohipnose) dan berkompromi dengan kebiasaan animis yang telah menjadi adat tidak hanya membuka jalan bagi penipuan-penipuan, tetapi juga merosotkan ukuran moral sebagian besar masyarakat Islam. Sufi diwakili oleh darwisy yang mengembara sering kali tidak seimbang akalnya. Sufi merupakan suatu rintangan bagi kehidupan sosial dan agama. Demikian kuatnya dorongan yang diberikan, hingga perlawanan alim ulama berkurang sedikit demi sedikit, meskipun sejumlah tokoh yang luar biasa. memberikan prelawanan hebat, misalnya Ibn Taimijah (m. 1328 M.), yang telah mengutuk segala pemujaan orang suci, latihan dan ilmu ketuhanan Sufi akar dan cabangnya.
Di Asia Barat pergerakan Sufi telah mencapai puncaknya dengan pembinaan Kerajaan Dinasti Osman dalam abad keenam belas. Rupanya masing-masing desa dan tiap-tiap persatuan pertukangan dan golongan di dalam kota telah terhubung dengan salah satu tarekat. Bahkan tarekat Melamiyah3 yang menentang hukum, memiliki penganut diantara pegawai-pegawai negeri tingkat tinggi. Satu-satunya jalan bagi alim ulama untuk dapat mempertimbangkan aliran ortodoks dengan paham Sufi adalah mengubah Sufi dari dalam. Turut sertanya mereka menyebabkan kehidupan baru dan perluasan dari tarekat-tarekat yang lebih ortodoks, khusus tarekat Naqsybandiyah, (mula-mula didirikan di Asia Tengah dalam abad keempat belas, dan pada waktu itu dipropagandakan dari India) dan tarekat Anatolia Khalwatiyah, yang dipropagandakan di Mesir dan Siria dalam abad kedelapan belas oleh Syekh Mustafa al-Bakri (m. 1749) .
Penyeduhan ilmu suluk yang segar tadi meninggalkan bekas pada susunan keagamaan dan pendidikan ortodoks. Dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas serangkaian sarjana ternama telah berusaha untuk menyatakan lagi pokok-pokok ilmu ketuhanan Islam dengan suatu jalan yang meninggalkan formalisme dari buku pelajaran ortodoks dan menekankan unsur-unsur kejiwaan dalam pergerakan ini yang belum mendapat perhatian sewajarnya adalah sarjana Siria Abd al-Ghani dari Nablus (1641-1731), sarjana India Ahmad Sarhindi (1563-1624), dan Sjah Wali-Allah dari Delhi (1702-1762).
Diantara orang suci Syi’ah di Persia, biarpun adanya perlawanan kuat, pengaruh cita-cita Sufi tidak dapat dilenyapkan semuanya. Pembentukan resmi keyakinan Syi’ah oleh Pemerintah Safawi yang baru dalam abad keenam belas telah menyokong penerbitan kesusasteraan pelajaran teratur dalam bahasa Persia dan Arab tentang soal-soal keagamaan Syi’ah, yang hasilnya kemudian diikhtisarkan secara sah dalam karangan-karangan Muhammad Baqir Majlisi (m. 1699). Di samping itu, perkembangan sebelumnya dari syair Sufi di Persia dan doktrin-doktrin Ibn al-Arabi terus menerus menarik perhatian, yang tidak dapat dibinasakan oleh pengutukan ulama siapa pun.
Dengan perantaraan tulisan-tulisan ahli suluk Muhammad Sadr ad-Din (Mulla Sadra, m. 1640) mereka mempengaruhi pertumbuhan paham Syi’ah baru yang tidak sesuai dengan paham resmi yang dinamakan menurut pengaturnya Syekh Ahmad dari al-Ahsa (m. 1826), tarekat Syaikhiyah. Walaupun hanya sedikit saja yang diketahui dari sifat dan doktrin-doktrin yang sebenarnya dari aliran tersebut, ada titik persamaan antara “penyelewengan” mereka dan Sufi ortodoks pada waktu yang sama ialah doktrin suatu “alam perumpamaan” (alam al-mithal), suatu alam metafisik, dimana pembatasan-pembatasan kebendaan, badaniah dari barang-barang kasar digantikan dengan barang-barang halus atau dari langit. Doktrin utama Syaikhiyah adalah kebutuhan akan saluran hubungan yang hidup dengan “imam yang tersembunyi,” dan merupakan akar yang menumbuhkankan pergerakan Babi dalam abad kesembilan belas.
Catatan kaki:
1 R.A. Nicholson. The Mayestic of Islam, hlm. 81.
2 Dikutip oleh Murray Titus; Indian Islam, hlm. 171.
3 Inilah murid-murid yang lahirnya berlagak segan pada agama, tetapi melakukan latihan agama tersendiri. Bandingkanlah al-Hujwiri, terjemahan A. Nicholson, hlm. 22-69.
No comments:
Post a Comment