CLICK at HOME…If it said this blog does not exist.

Sunday, 27 April 2014

Hukum Lingik Likee (goyang tubuh pada waktu zikir mauled Nabi SAW)

http://kitab-kuneng.blogspot.com/2014/04/hukum-lingik-likee-goyang-tubuh-pada.html

Pertanyaan dari : T. masykur:

dan satu masalah lagi yaitu tentang kita angget/linggik zike maulid di dayah dimana tersebut matan yang jelas supaya mudah kita beri argumat terhadap orang kampung

Jawab :

Sudah menjadi kebiasaan di Aceh dalam memperingati Maulid Nabi besar Muhammad SAW didakan zikir barzanji yang berisi puji-pujian kepada Nabi SAW. Sebagian mereka ada yang menggoyangkan tubuh dengan mengikuti irama semacam tarian (orang Aceh menyebutnya lingik likee). Lingik likee ini dilakukan baik pada waktu duduk maupun waktu berdiri.

Pada prinsipnya lingik likee ini boleh-boleh saja dilakukan asalkan dilakukan memperhatikan adab-adab berzikir dan tidak ada unsur perbuatan maksiat di dalamnya, karena sejauh pengetahuan kami, tidak tidak ada dalil syara’ yang melarangnya. Karena itu berlaku qaidah fiqh berbunyi :


الاصل في الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم

“Asal sesuatu adalah mubah sehingga ada dalil yang menunjuki kepada haram.”[1]

Menurut hemat kami, adab-adab yang harus diperhatikan waktu lingik likee, antara lain :
1. Lingik likee tersebut tidak menyebabkan kesalahan mengucapkan zikir. Hal ini sangat penting diperhatikan, karena kesibukan dengan goyang tubuh (lingik likee) kadang-kadang melalaikan pengucapkan zikir yang benar. Kalau lingik likee dapat menyebabkan kesalahan pengucapan zikir sehingga dapat merobah maknanya, maka ini tidak jauh kalau kita katakan bahwa lingik likeemacam ini adalah haram.

2. Lingik likee tersebut tidak menyerupai perbuatan orang fasid. Misalnya Lingik likee yang dilakukan seperti tarian yang yang biasanya dilakukan penyanyi-penyanyi rock dan penyanyi dangdut. Seandainya dilakukan lingik likeeseperti ini dengan qashad menyerupai mereka, maka haram hukumnya berdasarkan hadits Nabi SAW berbunyi :
من تشبه بقوم فهومنهم

Artinya : Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dalam kaum itu.

Al-Sakhawy mengatakan, hadits ini diriwayat oleh Ahmad, Abu Daud dan al-Thabrany dalam al-Kabir dari hadits Muniib al-Jarsyi dari Ibnu Umar secara marfu’ dengan sanad dha’if, namun hadits ini telah disokong oleh hadits Huzaifah dan Abu Hurairah di sisi al-Bazar, di sisi Abu Na’im dalam Tarikh Ashbahan dari Anas dan di sisi al-Qadha’i dari hadits Thawus secara mursal.[2] Dengan demikian, hadits ini meskipun sanadnya dhaif, kualitasnya naik menjadi hasan karena ada sokongan dari jalur-jalur lain sebagaimana terlihat dari uraian di atas. Kesimpulan ini sesuai dengan pernyataan Ibnu Hajar al-Asqalani berikut :

”Hadits ini dikeluarkan Abu Daud dengan sanad hasan.[3]

Ibnu Hajar Haitamy r.h. ditanya apakah halal main dengan panah kecil yang tidak bermanfaat dan tidak dapat membunuh binatang buruan tetapi hanya disediakan untuk permainan bagi orang-orang kafir, makan pisang yang banyak yang dimasak dengan mencampurkan gula, memakaikan anak-anak dengan pakaian berwarna kuning karena mengikuti anggapan penting ini oleh orang kafir pada sebagian hari raya mereka atau memberikan pakaian dan kebutuhan bagi mereka karena orang itu dan mereka ada hubungan dimana salah satunya adalah penyewa bagi lainnya karena menghormati hari Nairuz (hari awal tahun orang Qubthi) atau lainya ?. 

Sesungguhnya orang-orang kafir, anak-anak dan dewasa, orang biasa/kecil dan tokoh-tokoh bahkan hamba sahaya dari kalangan mereka, sangat mementingkan panah kecil dan permainannya dan makan pisang yang banyak yang dimasak dengan gula. Demikian juga memakaikan anak-anak dengan pakaian berwarna kuning dan memberikan pakaian dan kebutuhan-kebutuhan kepada orang-orang yang berhubungan dengan mereka. 

Sedangkan pada hari itu, pada mereka tidak ada ibadah menyembah patung atau lainnya. Hari itu adalah apabila bulan pada hari keberuntungan penyembelih, yaitu pada buruj Singa. Sekelompok orang muslimin, pada saat melihat perbuatan kafir tersebut, juga melakukannya seperti mereka, maka apakah itu menjadi kafir atau berdosa orang muslim apabila melakukannya seperti perbuatan mereka dengan tanpa mengi’tiqad menghormati hari raya mereka dan tanpa karena mengikuti mereka atau tidak ?. 

Beliau menjawab :

“Tidak menjadi kafir dengan sebab melakukan sesuatu dari itu semua. Sesungguhnya Ashabina (sahabat kita) telah menjelaskan bahwa kalau seseorang mengikat zinar pada pinggangnya atau meletak atas kepalanya peci Majusi, tidak menjadi kafir dengan semata-mata demikian. 

Oleh karena itu, tidak menjadi kafir dengan sebab yang tersebut pada pertanyaan di atas lebih aula (lebih patut) dan itu dhahir, bahkan melakukan sesuatu yang disebutkan itu tidak haram apabila diqashadkan menyerupai dengan kafir yang bukan dari aspek kekafirannya. Jika tidak (jika dari aspek kekafirannya), maka kafir secara qatha’. 

Kesimpulannya kalau dilakukannya dengan qashad menyerupai kafir pada syi’ar kufur, maka kafir secara qatha’ atau pada syi’ar hari raya mereka dengan qatha’ nadhar (mengesampingkan) dari kekufuran, maka tidak menjadi kafir, tetapi berdosa dan apabila tidak mengqashadkan menyerupai sama sekali orang kafir, maka tidak ada sesuatupun atasnya. [4]

Adapun apabila tidak mengqashad menyerupai mereka, maka minimal ini, hukumnya makruh, karena kita dianjurkan menyelisih perbuatan orang-orang fasid sebagaimana dianjurkan menyelisih perbuatan orang-orang kafir sebagaimana contoh-contoh di bawah ini, yaitu :

a. Perintah makan sahur untuk menyelisih Ahlul Kitab ketika puasa, berdasarkan hadits dari Amr bin ‘Ash, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

“Perbedaan antara puasa kita dengan puasa ahl al-Kitab adalah makan sahur” (H.R. Muslim)[5]

Telah terjadi ijmak ulama bahwa hukum makan sahur pada malam hari puasa adalah sunnah, tidak wajib.[6]

b. Perintah merubah uban untuk menyelisih kaum Yahudi dan Nashrani, berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :

إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir uban mereka, maka selisihlah mereka.” (HR. Bukhari [7] dan Muslim[8] )

dan hadits Jabir :

عن جابر بن عبد الله قال أتي بأبي قحافة يوم فتح مكة ورأسه ولحيته كالثغامة بياضا فقال رسول الله صلعم غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

“Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata : “Abu Qahafah muncul pada hari penaklukan Makkah dengan kepala dan jenggot sudah beruban seperti serbuk sari, maka bersabda Rasulullah SAW : “Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam”.(HR. Muslim)[9]

Telah datang riwayat dari Nabi yang memerintahkan merobah uban rambut sebagaimana datang hadits yang melarang merobah uban. Datang riwayat yang berbeda ini mengakibatkan muncul perbedaan pendapat para Sahabat dan Tabi’in sesudah mereka, sebagian mereka mengatakan merobahnya lebih afdhal dan sebagian lain berpendapat membiarkannya tanpa dirobah lebih afdhal, namun mereka ijmak bahwa merobah atau membiarkan tanpa dirobah tidaklah wajib. Al-Thabrani mengatakan :

“Yang benar, atsar yang diriwayat dari Nabi SAW merobah uban dan melarang merobahnya adalah semuanya shahih dan tidak ada pertentangan padanya, tetapi perintah merobahnya adalah untuk orang-orang yang ubannya seperti uban Abi Quhafah dan larangannya bagi orang-orang yang ubannya masih bercampur (bercampur dengan rambut hitam) Karena itu, perbedaan para Salaf dalam melaksanakan dua hal tersebut adalah berdasarkan perbedaan keadaan uban mereka. Namun yang pasti perintah dan larangan tentang merobah uban tersebut bukanlah wajib secara ijmak, karenanya sebagian mereka tidak saling mengingkari sebagian yang lain.”[10]

c. Perintah memakai sandal dan sepatu dalam shalat berdasarkan hadits Nabi SAW dari Syaddad bin Aus, berbunyi :

خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ وَلَا خِفَافِهِمْ

“Sesunguhnya Yahudi tidak shalat memakai sandal, maka berselisihlah mereka.” (H.R. Abu Daud dan al-Hakim).[11]

Perintah berselisih di atas bukanlah perintah bermakna wajib, karena Nabi SAW sendiri pernah shalat tanpa menggunakan sandal berdasarkan Hadis dari Amr bin Syu’ib dari bapaknya dari kakeknya, beliau menyatakan :

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي حَافِيًا وَمُنْتَعِلًا

“Saya pernah melihat Rasulullah SAW terkadang shalat dengan tidak beralas kaki dan kadang shalat dengan memakai sandal. (HR. Abu Daud).[12]

Memakai sandal dalam shalat menurut Ibnu Daqiq al-‘Id merupakan rukshah, bukan suatu yang sunnah dalam shalat, namun menurut Ibnu Hajar al-Asqalany apabila memakainya dengan niat menyelesih kaum Yahudi sebagaimana kandungan hadits Syaddad bin Aus di atas, maka hukum memakainya menjadi dianjurkan.[13] Alhasil perintah memakai sandal dan sepatu dalam shalat untuk menyelisih kaum Yahudi di atas bukanlah perintah bermakna wajib.

d. Perintah puasa Tasu’a (sembilan Muharram) untuk menyelisih puasa kaum Yahudi dan Nashrani yang berpuasa ’Ayuraa sebagaimana kandungan hadits Ibnu Abbas beliau berkata :

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

”Rasulullah SAW melaksanakan dan memerintah berpuasa pada Hari ’Asyuraa, ketika itu para sahabat berkata : ”Ya Rasulullah sesungguhnya hari Asyura itu merupakan hari yang dihormati oleh Yahudi dan Nashrani.” Rasulullah SAW menjawab : ”Apabila datang tahun depan, insya Allah kami berpuasa pada hari kesembilannya. Ibnu Abbas mengatakan : ”Tidak sempat datang tahun depan itu, karena Rasulullah SAW duluan wafat.” (H.R. Muslim)[14]

Keinginan Rasulullah SAW berpuasa hari kesembilan Muharram (Tasu’a) untuk menyelisih kaum Yahudi dan Nashrani dan sepakat para ulama hukum puasa Tasu’a tersebut adalah sunnah, tidak wajib.

[1] Al-Suyuthi, al-Asybah wal-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 43
[2] Al-Sakhawy, al-Maqashid al-Hasanah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 639
[3] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 271
[4] . Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 238-239)
[5] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, hal. 130, No. hadits : 2604
[6] Ibnu Munzir, al-Ijmak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Hal. 15
[7] Bukhari, Shahih Bikhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. IV, Hal. 170, No. Hadits : 3462
[8] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1663, No. Hadits : 2103
[9] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1663, No. Hadits : 2102
[10] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. XIV, Hal. 80
[11] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barii, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. I, Hal. 494
[12] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 176, No. Hadits : 653
[13] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barii, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. I, Hal. 494
[14] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 797, No. Hadits : 1134

No comments:

Post a Comment