CLICK at HOME…If it said this blog does not exist.

Sunday 30 June 2013

Mengapa kita harus menerima Islam?

Mengapa kita harus menerima Islam?


أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Redaksi kata “i-s-lâ-m” derivatnya dari bab if’âl dan berasal dari kata dasar sa-lâ-m yang bermakna sehat, afiat, bersih dari segala aib, cela dan cacat. Ketika kata dasar sa-lâ-m ini dibawa ke dalam bab if’âl maka ia memiliki makna-makna seperti, inqiyâd (patuh), ithâ’at (taat), imtitsâl (menunaikan) perintah dan (menjauhi) larangan tanpa adanya protes.

Agama Islam merupakan agama paling inklusif dan komprehensif di antara agama-agama Ilahi. Agama ini diturunkan oleh Allah Swt sebagai petunjuk kepada manusia supaya manusia mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan abadi.

Apa yang membuat mengapa kita harus menerima Islam disebabkan oleh beberapa dalil sebagaimana berikut ini:

Pertama: Keharusan mengikuti dan memilih agama hak

Disebutkan bahwa senantiasa hanya terdapat satu agama hak pada setiap masa dan setiap orang harus mengenal agama hak tersebut dengan baik kemudian mengikutinya.

Dari sudut pandang al-Qur’an agama yang valid adalah agama Islam dan setiap manusia harus memilih agama tersebut. Al-Qur’an menyatakan, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali Imran [3]:85)

Ustad Muthahhari, sembari menegaskan masalah ini, menulis demikian, “...bahwa senantiasa hanya terdapat satu agama hak pada setiap masa dan setiap orang harus mengenal agama hak tersebut dengan baik kemudian mengikutinya. Pemikiran  yang berkembang belakangan ini di kalangan cendikiawan yang menyatakan, seluruh agama samawi dari sudut pandang standar adalah sama (sejajar kebenarannya) pada setiap masa merupakan pemikiran yang tidak benar. 

Namun ketika dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan dan perdebatan di antara para nabi Allah maka perkataan ini merupakan perkataan benar.  Hanya saja perkataan ini tidak bermakna bahwa pada setiap masa terdapat beberapa agama hak dan tentu saja manusia boleh menerima dan memilih agama apa pun pada setiap masa. Sebaliknya, makna yang benar dari pernyataan ini adalah bahwa manusia harus menerima seluruh nabi dan mengetahui bahwa para nabi sebelumnya (sâbiq) adalah pemberi berita gembira bagi para nabi setelahnya (lâhiq) khususnya nabi pamungkas dan paling utama serta nabi-nabi setelahnya adalah pembenar bagi nabi-nabi sebelumnya.

Oleh itu, keniscayaan iman kepada seluruh nabi adalah bahwa pada setiap masa kita harus menerima dan memilh syariat nabi pada masa tersebut. Dan tentu saja pada masa akhir, kita harus melaksanakan instruksi-instruksi terakhir dari sisi Allah Swt yang diturunkan melalui nabi pamungkas dan demikianlah keniscayaan islam yaitu pasrah kepada Allah Swt dan menerima risalah-risalah para rasulnya.

Benar bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, “la ikraha fiddin” Namun hal ini tidak bermakna bahwa terdapat beberapa dan sejumlah agama Allah Swt pada setiap masa dan kita memiliki hak untuk memilih salah satu darinya. Tidak demikian. Pada setiap masa (hanya) terdapat satu agama hak, titik.

Setiap masa terdapat seorang nabi pemilik syariat datang dari sisi Allah Swt dan masyarakat memiliki kewajiban untuk memanfaatkan petunjuk-petunjuk dan panduan-panduan darinya. Mereka harus mempelajari aturan-aturan dan hukum-hukumnya baik pada ibadah atau selain ibadah dari nabi tersebut hingga tiba gilirannya Nabi Muhammad Saw sebagai nabi pamungkas Ilahi.

Pada masa ini apabila seseorang ingin menemukan jalan menuju Allah Swt maka ia harus mencari bimbingan terkait dengan instruksi-instruksi agamanya. Al-Qur’an menyatakan, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali Imran [3]:85)

Sekiranya orang-orang berkata bahwa yang dimaksud dengan Islam tidaklah terkhusus pada agama kita, melainkan tunduk pasrah kepada Allah Swt maka jawabannya adalah bahwa tentu saja  makna islâm adalah taslim (tunduk) dan agama Islam adalah agama yang tunduk (taslim) namun hakikat taslim memiliki bentuk pada setiap masa dan pada masa ini bentuknya adalah agama mulia yang dibawa oleh Nabi Pamungkas Muhammad Saw.  Tentu saja kata islam dapat diselarasan dengan agama yang dibawa oleh Kanjeng Rasulullah Saw, titik.

Dengan kata lain, keniscayaan tunduk (taslim) di hadapan Allah Swt adalah menerima segala instruksi-Nya dan jelas bahwa manusia harus mengamalkan instruksi terakhir dan instruksi terakhir Allah Swt adalah apa yang dibawa oleh rasul pamungkas-Nya.”

Kedua: Tidak Mencukupinya Agama-agama di Dunia selain Islam

Dalil-dalil Ketidakcukupan Agama-agama Lain Yang Terdapat di dunia hari ini:

Sebelum mengetengahkan dalil tentang ketidakbenaran agama-agama lain di dunia kami merasa perlu menyebutkan dua poin sebagai berikut:

Poin pertama, yang kami maksud bukanlah bahwa seluruh yang terdapat pada agama-agama yang ada itu adalah batil dan tidak secuil pun kebenaran yang dapat dijumpai pada agama-agama tersebut. Tidak demikian. Yang kami maksud adalah bahwa seluruh agama yang ada di dunia dewasa ini memiliki persoalan-persoalan yang tidak dapat diterima dan agama seperti ini tidak dapat menjadi penjelas wajah sempurna hakikat.

Poin kedua, dalam kajian ringkas ini kita akan menyinggung sebagian ketidakbenaran dua agama penting di dunia hari ini yaitu agama Kristen dan Yahudi. Nilai dan konsideran agama-agama lainnya yang nota-bene berada setingkat di bawah dari dua agama ini dari sisi penerimaan dan konsiderannya juga akan menjadi jelas.

Dalil-dalil yang menetapkan bahwa agama Kristen tidak dapat menampilkan wajah sempurna hakikat adalah sebagai berikut:

1. Riwayat Injil bukanlah riwayat mutawatir dan tidak memiliki sandaran  definitif

Nabi Isa As berasal dari Bani Israel dan bahasa ibunya adalah bahasa Ibrani. Ia mengklaim dirinya sebagai nabi di Baitul Muqaddas dan masyarakatnya adalah masyarakat Yahudi yang berbahasa Ibrani dan tidak beriman kepadanya. Kecuali beberapa gelintir yang kita tidak tahu tentangnya.

Adapun sebagian warga Baitul Muqaddas yang mampu berbahasa Yunani dan tersebar di kota-kota Asia Minor menyeru masyarakat untuk memeluk agama yang dibawa oleh Nabi Isa As. Mereka menulis banyak kitab dalam bahasa Yunani. Dalam kitab tersebut terdapat beberapa hal yang ditujukan kepada masyarakat Yunani dan Romawi:

Isa berkata demikian dan berbuat demikian. Mereka yang melihat Nabi Isa dan menjadi saksi atas segala ucapan dan perbuatannya serta memahami bahasanya adalah mereka yang menetap di Palestina. Mereka adalah orang-orang yang tidak menerima kenabian Nabi Isa dan memandang bahwa kisah-kisah yang ditulis dalam bahasa Yunani tersebut adalah rekaan. 

Adapun mereka yang menerima kitab (Injil) dan kisah-kisah di dalamnya adalah orang-orang yang jauh yang tidak melihat kota Baitul Muqaddas. Mereka tidak melihat Nabi Isa juga tidak mendengar sabda-sabdanya. Apabila kisah-kisah yang ditulis dalam Injil, sekiranya itu adalah dusta, tiada yang menghalangi penulisnya untuk menuliskan pelbagai dusta di dalamnya, dan pendengar juga tidak dapat mendustainya (lantaran ketidaktahuan mereka).

Misalnya dalam Injil Matius, tatkala Nabi Isa lahir, datang beberapa orang Majusi dari Timur dan bertanya bahwa dimana gerangan pangeran Yahudi yang baru lahir itu? Orang Majusi tersebut mengatakan bahwa kami melihat bintangnya di belahan Timur. Mereka tidak menunjukkannya, tiba-tiba mereka menyaksikan bintang bergerak di langit hingga di atas kediaman Nabi Isa As dan berhenti di atas rumah tersebut. 

Akhirnya orang-orang Majusi itu tahu bahwa Nabi Isa di rumah itu. Kisah seperti ini tentu saja kisah buatan yang ditulis dalam Injil dan sama sekali tidak mengandung kebenaran, lantaran tidak ditulis dalam bahasa Ibrani bagi orang-orang yang tinggal di Baitul Muqaddas, melainkan ditulis oleh orang-orang asing. Dan tentu saja orang-orang asing dapat menulis apa pun yang mereka hendaki.

Kita meyakini bahwa tiada seorang astronom pun yang berpandangan bahwa apabila ada seorang lahir maka akan terlihat sebuah bintang yang bergerak di atasnya. Hal ini tidak saja tidak diyakini oleh orang Majusi saja tapi juga selain Majusi.

Kita mengatakan bahwa orang-orang terdahulu Kristen berbeda pendapat terkait masalah terbunuhnya Nabi Isa As. Pada sebagian Injil disebutkan bahwa Nabi Isa tidak terbunuh, lantaran apabila ada seseorang terbunuh di sebuah kota maka seluruh warga kota akan mengetahuinya. Khususnya apabila ia disalib. Namun lantaran penulis Injil ditulis untuk orang asing,  ditulis dengan bahasa asing dan orang-orang asing ini tidak berada di Baitul Muqaddas sehingga mereka dapat mengetahui hakikat terbunuhnya atau tidak terbunuhnya Nabi Isa.

Para penulis Injil dengan kebebasan sepenuhnya menulis apa yang menurut mereka pantas dan dalam hal ini mereka tidak takut sama siapa pun. Tiga ratus tahun setelah wafatnya Isa, sebuah pertemuan diadakan dan para pendeta bermusyawarah tentang bagaimana segala perbedaan dalam hal ini diselesaikan. Mereka berpendapat bahwa di antara beberapa Injil yang ada dipilih empat Injil dan memandang hal-hal yang terkandung di dalamnya sebagai benar dan selebihnya, yang tidak terbilang, dipandang salah dan terbunuhnya Nabi Isa dipandang tertolak dalam injil-injil yang lain dan tidak resmi.

2. Banyaknya kontradiksi dan distorsi dalam Alkitab pada agama Kristen dewasa ini

Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda untuk merujuk pada kitab "Rah-e Sa'adat" karya Allamah Sya'rani dan "Izhar al-Haq," karya Fadhil Hindi, serta "Qur'an wa Kitab-haye Asamani Digar," karya Syahid Hasyimi Nejad.

3. Tidak harmoninya ajaran-ajaran Kristen dengan dasar-dasar logika dan rasionalitas

Misalnya iman Kristian terhadap tuhan anak yang memanifestasi dalam bentuk manusia, mengambil seluruh dosa anak manusia dan menebus seluruh dosa dengan menahan derita salib. Dalam Injil Yohanes disebutkan bahwa: "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah menganuriakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia."[5]

Terkait dengan agama Yahudi juga berhadapan dengan masalah yang sama. Lantaran, pertama, Taurat memiliki tiga naskah:
  1. Naskah pertama adalah naskah Ibrani yang diterima oleh penganut Yahudi dan pendeta-pendeta Protestan.
  2. Naskah Samiri yang diterima oleh penganut Samiri (suku lainnya dari Bani Israel).
  3. Naskah Yunani yang diterima oleh pendeta-pendeta Kristen non-Protestan.
Naskah Taurat yang diterima oleh penganut Samiri terdiri dari lima kitab Musa,  kitab Yosua dan Hakim-hakim, kitab lainnya dari Perjanjian Lama tidak diterima.[6]

Durasi waktu dan jarak antara penciptaan Adam hingga topan Nabi Nuh pada naskah pertama adalah 1656 tahun lamanya. Dan pada naskah kedua 1307 sementara pada naskah ketiga 1362 tahun. Karena itu dari tiga naskah ini tidak dapat dipandang benar seluruhnya, melainkan salah satunya yang harus diterima dan tidak diketahui naskah yang mana.[7]

Kedua, dalam Taurat juga terdapat hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal sehat manusia. Misalnya dalam Taurat, Tuhan diperkenalkan dalam bentuk manusia yang berjalan, berkidung, pendusta dan penipu. Karena Tuhan berkata kepada Adam bahwa apabila ia memakan pohon kebaikan dan keburukan maka ia akan mati. Akan tetapi Adam dan Hawa memakan buah pohon tersebut dan tidak hanya mati melainkan keduanya juga mengenal kebaikan dan keburukan.[8] Atau kisah bergulatnya Tuhan dengan Nabi Ya'qub sebagaimana yang disebutkan dalam Taurat.[9]

4. Dalil-dalil kebenaran dan keunggulan Islam
  1. Hidup dan abadinya mukjizat agama Islam; lantaran mukjizat utama agama ini adalah "Al-Qur'an" yang berbentuk kitab, logika dan pengetahuan – berbeda dengan mukjizat nabi-nabi sebelumnya yang berbentuk empirik  dan dapat dilihat – atas alasan ini mukjizat agama Islam senantiasa hidup dan bersandar pada dirinya sendiri serta tidak bergantung kepada hadirnya dan hidupnya Nabi Saw. Atas dasar inilah mukjizat agama Islam senantiasa abadi dan lestari. 
  2. Di samping itu, al-Qur'an dengan melontarkan tantangan kepada seluruh manusia menyampaikan pesan kehidupan dan keabadiannya: "Dan jika kamu (tetap) meragukan Al-Qur'an yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah (paling tidak) satu surah saja yang semisal dengan Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah (untuk melakukan hal itu), jika kamu orang-orang yang benar. " (Qs. Al-Baqarah [2]:23
  3. Tidak terdistorsinya al-Qur'an: Artinya tiada perubahan dan pergantian yang terjadi di dalam al-Qur'an.
Karena di samping janji Ilahi bahwa Dia yang akan menjaga al-Qur'an, "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (Qs. Al-Hijr [15]:9), pribadi Rasulullah Saw memiliki perhatian khusus untuk memelihara secara seksama al-Qur'an. 

Pertama: Rasulullah Saw memerintahkan kepada sebagian orang yang dikenal sebagai penulis wahyu untuk menulis ayat-ayat dan surah-surah al-Qur'an. 

Kedua, memotivasi banyak sahabat untuk menghafal al-Qur'an. Karena itu, banyak orang yang dikenal sebagai penghafal al-Qur'an pada masa Rasulullah Saw. 

Ketiga, memotivasi orang-orang untuk membaca al-Qur'an: Artinya apa yang harus dibaca secara tepat khususnya lafaz dan tajwidnya, bukan sekedar menelaah dan memahaminya saja.[10] Faktor-faktor ini telah menjadi sebab sehingga al-Qur'an terjaga dari penyimpangan dan distorsi.
  1. Jalan ketiga untuk menetapkan kebenaran Islam adalah perhatian terhadap masalah kepamungkasan (khatamiyat) Nabi Saw. Lantaran nash (ayat dan riwayat) dalam Islam menegaskan bahwa Muhammad Saw merupakan nabi terakhir dan tiada lagi nabi yang akan diutus kepada manusia selepasnya.
Pada seluruh masyarakat manusia aturan praktis terakhir seorang manager dan komandan yang akan menjadi standar dan teraju. Aturan ini bersifat mesti dan harus dikerjakan. Dengan adanya aturan praktis terkini (yang datang belakangan) maka aturan-aturan praktis sebelumnya secara otomatis akan berakhir masa pakainya.

Pada teks-teks agama-agama sebelumnya tidak disebutkan bahwa nabi-nabi mereka merupakan nabi terakhir, melainkan memberikan berita gembira kepada para pengikutnya tentang kemunculan nabi Islam;[11] artinya teks-teks tersebut menjelaskan ihwal temporalnya ajaran mereka.
  1. Poin keempat yang harus menjadi fokus perhatian adalah masalah universalitas dan inklusivisme Islam dimana Islam memiliki ajaran-ajaran pada seluruh dimensi beragam kehidupan, mental, sosial dan personal, material dan spiritual kehidupan manusia. Untuk mengenal lebih baik inklusivisme dan keunggulan ajaran-ajaran agama Islam maka perbandingan dan komparasi harus dilakukan antara kandungan teks agama Islam dan kandungan teks agama-agama lainnya. Dengan demikian, keunggulan dan inklusivisme ajaran-ajaran Islam pada masalah-masalah keyakinan, tauhid dan sifat Allah Swt, etika personal dan sosial, hukum, perekonomian, politik dan pemerintahan akan menjadi jelas.
  2. Poin kelima, di antara agama yang ada di dunia sekarang, satu-satunya agama yang memiliki sejarah hidup dan standar adalah agama Islam dimana para sejarawan bahkan sejarah Islam merekam dengan baik dan rinci hal-hal yang terkait dengan masa kecil Nabi Saw. Sementara agama-agama lainnya tidak memiliki bukti sejarah yang standar. Atas dasar ini, sebagian pemikir Barat meragukan bahkan sosok pribadi Nabi Isa As sedemikian sehingga apabila al-Qur'an kaum Muslimin tidak menyebutkan nama Nabi Isa dan nabi-nabi lainnya, maka boleh jadi agama Kristen dan Yahudi tidak akan dikenal luas dan resmi oleh manusia dewasa ini.[12]

[1]. Al-Nukat wa al-‘Uyun (Tafsir Mawardi), jil. 1, hal. 379-380.  
[2]. Majmu’e Âtsâr, jil. 1, hal. 277.  
[3]. Abul Hasan Sya'rani, Râh-e Sa'âdat, hal. 187-188, 197-221.
[4]. Ibid.
[5].  Injil Yohanes 3:16-17
[6]. Râh-e Sa'adat, 206-207.
[7]. Taurat, Kejadian, bab 2 dan 3.
[8]. Ibid.
[9]. Râh-e Sa'âdat, hal. 22, 24, 25, 215.
[10]. Shahih BUkhari, jil. 4, hal. 250.
[11]. Râh-e Sa'âdat, hal. 226-241; Injil Yohanes 21:14.
[12]. Majmu'e Atsar, jil. 16, hal. 44.

Thursday 27 June 2013

SIFAT 20

SIFAT 20

Adalah sifat-sifat bagi Allah s.w.t. yang wajib diketahui dengan tafsil ( satu persatu ) iaitu 20 sifat :

1. Wujud : Ertinya Ada (Sifat Nafsiyah)

Iaitu tetap dan benar yang wajib bagi zat Allah Ta’ala yang tiada disebabkan dengan sesuatu sebab. Maka wujud ( Ada ) – disisi Imam Fakhru Razi dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi bukan ia a’in maujud dan bukan lain daripada a’in maujud , maka atas qaul ini adalah wujud itu Haliyyah ( yang menepati antara ada dengan tiada).

Tetapi pada pendapat Imam Abu Hassan Al-Ashaari wujud itu ‘ain Al-maujud, kerana wujud itu zat maujud kerana tidak disebutkan wujud melainkan kepada zat. Kepercayaan bahawa wujudnya Allah s.w.t. bukan sahaja di sisi agama Islam tetapi semua kepercayaan di dalam dunia ini mengaku menyatakan Tuhan itu ada.

Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :

” Dan jika kamu tanya orang-orang kafir itu siapa yang menjadikan langit dan bumi nescaya berkata mereka itu Allah yang menjadikan……………
( Surah Luqman : Ayat 25 )

2. Qidam : Ertinya Sedia (Sifat Salbiyah Pertama)

Pada hakikatnya menafikan ada permulaan wujud Allah s.w.t kerana Allah s.w.t. menjadikan tiap-tiap suatu yang ada, yang demikian tidak dapat tidak keadaannya lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu itu. Jika sekiranya Allah Ta’ala tidak lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu, maka hukumnya adalah mustahil dan batil. 

Maka apabila disebut Allah s.w.t. bersifat Qidam maka jadilah ia qadim. Di dalam Ilmu Tauhid ada satu perkataan yang sama maknanya dengan Qadim iaitu Azali. Setengah ulama menyatakan bahawa kedua-dua perkataan ini sama maknanya iaitu sesuatu yang tiada permulaan baginya. 

Maka qadim itu khas dan azali itu am. Dan bagi tiap-tiap qadim itu azali tetapi tidak boleh sebaliknya, iaitu tiap-tiap azali tidak boleh disebut qadim. Adalah qadim dengan nisbah kepada nama terbahagi kepada empat bahagian :

1 ) Qadim Sifati ( Tiada permulaan sifat Allah Ta’ala )
2 ) Qadim Zati ( Tiada permulaan zat Allah Ta’ala )
3 ) Qadim Idhafi ( Terdahulu sesuatu atas sesuatu seperti terdahulu bapa nisbah kepada anak )
4 ) Qadim Zamani ( Lalu masa atas sesuatu sekurang-kurangnya satu tahun )
Maka Qadim Haqiqi ( Qadim Sifati dan Qadim Zati ) tidak harus dikatakan lain daripada Allah Ta’ala.

3. Baqa’ : Ertinya Kekal

Sentiasa ada, kekal ada dan tiada akhirnya Allah s.w.t. Pada hakikatnya ialah menafikan ada kesudahan bagi wujud Allah Ta’ala. Adapun yang lain daripada Allah Ta’ala , ada yang kekal dan tidak binasa Selama-lamanya tetapi bukan dinamakan kekal yang hakiki ( yang sebenar ) Bahkan kekal yang aradhi ( yang mendatang jua seperti Arasy, Luh Mahfuz, Qalam, Kursi, Roh, Syurga, Neraka, jisim atau jasad para Nabi dan Rasul ).

Perkara –perkara tersebut kekal secara mendatang tatkala ia bertakluq dengan Sifat dan Qudrat dan Iradat Allah Ta’ala pada mengekalkannya. Segala jisim semuanya binasa melainkan ‘ajbu Az-zanabi ( tulang kecil seperti biji sawi letaknya di tungking manusia, itulah benih anak Adam ketika bangkit daripada kubur kelak ). Jasad semua nabi-nabi dan jasad orang-orang syahid berjihad Fi Sabilillah yang mana ianya adalah kekal aradhi jua. Disini nyatalah perkara yang diiktibarkan permulaan dan kesudahan itu terbahagi kepada tiga bahagian :

1) Tiada permulaan dan tiada kesudahan iaitu zat dan sifat Alllah s.w.t.
2) Ada permulaan tetapi tiada kesudahan iaitu seperti Arash , Luh Mahfuz , syurga dan lain-lain lagi.
3) Ada permulaan dan ada kesudahan iaitu segala makhluk yang lain daripada perkara yang diatas tadi ( Kedua ).


4. Mukhalafatuhu Ta’ala Lilhawadith.  
                                                                                                                                 Ertinya : Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.

Pada zat , sifat atau perbuatannya sama ada yang baru , yang telah ada atau yang belum ada. Pada hakikat nya adalah menafikan Allah Ta’ala menyerupai dengan yang baharu pada zatnya , sifatnya atau perbuatannya.

Sesungguhnya zat Allah Ta’ala bukannya berjirim dan bukan aradh Dan tiada sesekali zatnya berdarah , berdaging , bertulang dan juga bukan jenis leburan , tumbuh-tumbuhan , tiada berpihak ,tiada ber-tempat dan tiada dalam masa. 

Dan sesungguhnya sifat Allah Ta’ala itu tiada bersamaan dengan sifat yang baharu kerana sifat Allah Ta’ala itu qadim lagi azali dan melengkapi ta’aluqnya. Sifat Sama’ ( Maha Mendengar ) bagi Allah Ta’ala berta’aluq ia pada segala maujudat tetapi bagi mendengar pada makhluk hanya pada suara sahaja. 

Sesungguhnya di dalam Al-Quran dan Al-Hadith yang menyebut muka dan tangan Allah s.w.t. , maka perkataan itu hendaklah kita iktiqadkan thabit ( tetap ) secara yang layak dengan Allah Ta’ala Yang Maha Suci daripada berjisim dan Maha Suci Allah Ta’ala bersifat dengan segala sifat yang baharu.

5. Qiamuhu Ta’ala Binafsihi:   
                                                                                               Ertinya : Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya .

Tidak berkehendak kepada tempat berdiri ( pada zat ) dan tidak berkehendak kepada yang menjadikannya Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan Allah s.w.t. berkehendak kepada tempat berdiri dan kepada yang menjadikannya.

Allah s.w.t itu terkaya dan tidak berhajat kepada sesuatu sama ada pada perbuatannya atau hukumannya. Allah s.w.t menjadikan tiap-tiap sesuatu dan mengadakan undang-undang semuanya untuk faedah dan maslahah yang kembali kepada sekalian makhluk .

Allah s.w.t menjadikan sesuatu ( segala makhluk ) adalah kerana kelebihan dan belas kasihannya bukan berhajat kepada faedah.

Allah s.w.t. Maha Terkaya daripada mengambil apa-apa manafaatdi atas kataatan hamba-hambanya dan tidak sesekali menjadimudharat kepada Allah Ta’ala atas sebab kemaksiatan dan kemung-karan hamba-hambanya.

Apa yang diperintahkan atau ditegah pada hamba-hambanya adalah perkara yang kembali faedah dan manafaatnya kepada hamba-hamba-nya jua.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :

” Barangsiapa berbuat amal yang soleh ( baik ) maka pahalanyaitu pada dirinya jua dan barangsiapa berbuat jahat maka balasannya ( seksaannya ) itu tertanggung ke atas dirinya jua “.
( Surah Fussilat : Ayat 46 )

Syeikh Suhaimi r.a.h berkata adalah segala yang maujudat itu dengannisbah berkehendak kepada tempat dan kepada yang menjadikannya ,terbahagi kepada empat bahagian :

1) Terkaya daripada tempat berdiri dan daripada yang menjadi-kannya iaitu zat Allah s.w.t.

2) Berkehendak kepada tempat berdiri dan kepada yang men-jadikannya iaitu segala aradh ( segala sifat yang baharu ).

3) Terkaya daripada zat tempat berdiri tetapi berkehendakkepada yang menjadikannya iaitu segala jirim. ( Segala zat yang baharu ) .

4) Terkaya daripada yang menjadikannya dan berdiri ia pada zatiaitu sifat Allah Ta’ala.

6. Al – Wahdaniyyah.

Ertinya : Esa Allah Ta’ala pada zat , pada sifat dan pada perbuatan. Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan berbilang pada zat , pada sifat dan pada perbuatan sama ada bilangan yang muttasil ( yang ber-hubung ) atau bilangan yang munfasil ( yang bercerai ).

Makna Esa Allah s.w.t. pada zat itu iaitu menafikan Kam Muttasil pada Zat ( menafikan bilangan yang berhubung dengan zat ) seperti tiada zat Allah Ta’ala tersusun daripada darah , daging , tulang ,urat dan lain-lain.

Dan menafikan Kam Munfasil pada zat ( menafikan bilangan yang ber-cerai pada zat Allah Ta’ala )seperti tiada zat yang lain menyamai zat Allah Ta’ala.

Makna Esa Allah s.w.t pada sifat iaitu menafikan Kam muttasil pada Sifat ( menafikan bilangan yang berhubung pada sifatnya ) iaitu tidak sekali-kali bagi Allah Ta’ala pada satu-satu jenis sifatnya dua qudrat
dan menafikan Kam Munfasil pada sifat ( menafikan bilangan –bilangan yang bercerai pada sifat ) iaitu tidak ada sifat yang lain menyamai sebagaimana sifat Allah s.w.t. yang Maha Sempurna.

Makna Esa Allah s.w.t. pada perbuatan iaitu menafikan Kam Muttasil pada perbuatan ( menafikan bilangan yang bercerai –cerai pada perbuatan ) iaitu tidak ada perbuatan yang lain menyamai seperti perbuatan Allah bahkan segala apa yang berlaku di dalam alam semua-nya perbuatan Allah s.w.t sama ada perbuatan itu baik rupanya dan hakikatnya seperti iman dan taat atau jahat rupanya tiada pada hakikat-nya seperti kufur dan maksiat sama ada perbuatan dirinya atau perbuatan yang lainnya ,semuanya perbuatan Allah s.w.t dan tidak sekali-kali hamba mempunyai perbuatan pada hakikatnya hanya pada usaha dan ikhtiar yang tiada memberi bekas.

Maka wajiblah bagi Allah Ta’ala bersifat Wahdaniyyah dan ternafi bagi Kam yang lima itu iaitu :
1) Kam Muttasil pada zat.
2) Kam Munfasil pada zat.
3) Kam Muttasil pada sifat.
4) Kam Munfasil pada sifat.
5) Kam Munfasil pada perbuatan.

Maka tiada zat yang lain , sifat yang lain dan perbuatan yang lain menyamai dengan zat , sifat dan perbuatan Allah s.w.t .

Dan tertolak segala kepercayaan-kepercayaan yang membawa kepada menyengutukan Allah Ta’ala dan perkara-perkara yang menjejaskanserta merosakkan iman.

7. Al – Qudrah :

Ertinya : Kuasa qudrah Allah s.w.t. memberi bekas pada mengadakan dan meniadakan tiap-tiap sesuatu.

Pada hakikatnya ialah satu sifat yang qadim lagi azali yang thabit ( tetap ) berdiri pada zat Allah s.w.t. yang mengadakan tiap-tiap yang ada dan meniadakan tiap-tiap yang tiada bersetuju dengan iradah.

Adalah bagi manusia itu usaha dan ikhtiar tidak boleh memberi bekas pada mengadakan atau meniadakan , hanya usaha dan ikhtiar pada jalan menjayakan sesuatu .

Kepercayaan dan iktiqad manusia di dalam perkara ini berbagai-bagai fikiran dan fahaman seterusnya membawa berbagai-bagai kepercayaan dan iktiqad.

1) Iktiqad Qadariah :

Perkataan qadariah iaitu nisbah kepada qudrat. Maksudnya orang yang beriktiqad akan segala perbuatan yang dilakukan manusia itu sama ada baik atau jahat semuanya terbit atau berpunca daripada usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri dan sedikitpun tiada bersangkut-paut dengan kuasa Allah s.w.t.

2) Iktiqad Jabariah :

Perkataan Jabariah itu nisbah kepada Jabar              ( Tergagah ) dan maksudnya orang yang beriktiqad manusia dan makhluk bergantung kepada qadak dan qadar Allah semata-mata ( tiada usaha dan ikhtiar atau boleh memilih samasekali ). 

3) Iktiqad Ahli Sunnah Wal – Jamaah :

Perkataan Ahli Sunnah Wal Jamaahialah orang yang mengikut perjalanan Nabi dan perjalanan orang-orang Islam iaitu beriktiqad bahawa hamba itu tidak digagahi semata-mata dan tidak memberi bekas segala perbuatan yang disengajanya, tetapi ada perbuatan yang di sengaja pada zahir itu yang dikatakan usaha dan ikhtiar yang tiada memberi bekas sebenarnya sengaja hamba itu daripada Allah Ta'ala jua. Maka pada segala makhluk ada usaha dan ikhtiar pada zahir dan tergagah pada batin dan ikhtiar serta usaha hamba adalah tempat pergantungan taklif ( hukum ) ke atasnya dengan suruhan dan tegahan ( ada pahala dan dosa ).

8. Al – Iradah :

Ertinya : Menghendaki Allah Ta’ala.Maksudnya menentukan segala mumkin tentang adanya atau tiadanya. Sebenarnya adalah sifat yang qadim lagi azali thabit berdiri pada Zat Allah Ta’ala yang menentukan segala perkara yang harus atau setengah yang harus atas mumkin . Maka Allah Ta’ala yang selayaknya menghendaki tiap-tiap sesuatu apa yang diperbuatnya.

Umat Islam beriktiqad akan segala hal yang telah berlaku dan yang akan berlaku adalah dengan mendapat ketentuan daripada Allah Ta’ala tentang rezeki , umur , baik , jahat , kaya , miskin dan sebagainya serta wajib pula beriktiqad manusia ada mempunyai nasib ( bahagian ) di dalam dunia ini sebagaimana firman Allah s.w.t. yang bermaksud :

” Janganlah kamu lupakan nasib ( bahagian ) kamu
di dalam dunia ” .
( Surah Al – Qasash : Ayat 77 )

Kesimpulannya ialah umat Islam mestilah bersungguh-sungguh untuk kemajuan di dunia dan akhirat di mana menjunjung titah perintah Allah Ta’aladan menjauhi akan segala larangan dan tegahannya dan bermohon dan berserah kepada Allah s.w.t.

9. Al – Ilmu :  

Ertinya : Mengetahui Allah Ta’ala . Maksudnya nyata dan terang meliputi tiap-tiap sesuatu sama ada yang Maujud (ada) atau yang Ma’adum ( tiada ). Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada ( thabit ) qadim lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala Maha Mengetahui akan segala sesuatu sama ada perkara itu tersembunyi atau rahsia dan juga yang terang dan nyata. Maka Ilmu Allah Ta’ala Maha Luas meliputi tiap-tiap sesuatu di Alam yang fana’ ini.

10. Al – Hayat .

Ertinya : Hidup Allah Ta’ala. Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap qadim lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala . Segala sifat yang ada berdiri pada zat daripada sifat Idrak ( pendapat ) Iaitu : sifat qudrat , iradat , Ilmu , Sama’ Bashar dan Kalam.

11. Al – Samu’ : Ertinya : Mendengar Allah Ta’ala.
Hakikatnya ialah sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada
Zat Allah Ta’ala. Iaitu dengan terang dan nyata pada tiap-tiap yang maujud sama ada yang maujud itu qadim seperti ia mendengar kalamnya atau yang ada itu harus sama ada atau telah ada atau yang akan diadakan. Tiada terhijab ( terdinding ) seperti dengan sebab jauh , bising , bersuara , tidak bersuara dan sebagainya. Allah Ta’ala Maha Mendengar akan segala yang terang dan yang tersembunyi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud :
” Dan ingatlah Allah sentiasa Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “.
( Surah An-Nisa’a – Ayat 148 )
12. Al – Bashar : Ertinya : Melihat Allah Ta’ala .
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri
pada zat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala wajib bersifat Maha Melihat sama ada yang dapat dilihat oleh manusia atau tidak , jauh atau dekat , terang atau gelap , zahir atau tersembunyi dan sebagainya. Firman Allah Ta’ala yang bermaksud :
” Dan Allah Maha Melihat akan segala yang mereka kerjakan “.
( Surah Ali Imran – Ayat 163 )
13 . Al – Kalam : Ertinya : Berkata-kata Allah Ta’ala.
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada , yang qadim lagi azali ,
berdiri pada zat Allah Ta’ala. Menunjukkan apa yang diketahui oleh ilmu daripada yang wajib, maka ia menunjukkan atas yang wajib sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud :
” Aku Allah , tiada tuhan melainkan Aku ………”.
( Surah Taha – Ayat 14 )
Dan daripada yang mustahil sebagaimana firman Allah Ta’ala yang
bermaksud :
” ……..( kata orang Nasrani ) bahawasanya Allah Ta’ala
yang ketiga daripada tiga……….”.
( Surah Al-Mai’dah – Ayat 73 )
Dan daripada yang harus sebagaimana firman Allah Ta’ala yang
bermaksud :
” Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang
kamu perbuat itu”.
( Surah Ash. Shaffaat – Ayat 96 )
Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada berbilang.
Tetapi ia berbagai-bagai jika dipandang dari perkara yang dikatakan
iaitu :
1) Menunjuk kepada ‘amar ( perintah ) seperti tuntutan mendiri-
solat dan lain-lain kefardhuan.
2) Menunjuk kepada nahyu ( tegahan ) seperti tegahan mencuri dan lain-lain larangan.
3) Menunjuk kepada khabar ( berita ) seperti kisah-kisah Firaun
dan lain-lain.
4) Menunjuk kepada wa’ad ( janji baik ) seperti orang yan taat
dan beramal soleh akan dapat balasan syurga dan lain-lain.
5) Menunjuk kepada wa’ud ( janji balasan seksa ) seperti orang
yang menderhaka kepada ibubapa akan dibalas dengan azab
seksa yang amat berat.
14. Kaunuhu Qadiran :
Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkuasa Mengadakan Dan Mentiadakan.
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala ,
tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , iaitu lain daripada
sifat Qudrat.
15.Kaunuhu Muridan :
Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Menghendaki dan menentukan tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala ,
tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , iaitu lain daripada
sifat Iradat.
16.Kaunuhu ‘Aliman : Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Mengetahui akan
Tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala , tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , iaitu lain daripada sifat Al-Ilmu.
17.Kaunuhu Haiyan : Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Hidup.
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , iaitu lain daripada sifat Hayat.
18.Kaunuhu Sami’an : Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Mendengar akan tiap-tiap yang Maujud.
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum, iaitu lain daripada sifat Sama’.
19.Kaunuhu Bashiran : Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Melihat akan tiap-tiap yang Maujudat ( Benda yang ada ).
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , iaitu lain daripada sifat Bashar.
20.Kaunuhu Mutakalliman : Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkata-kata.
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , iaitu lain daripada sifat Qudrat.
Sifat Mustahil Bagi Allah s.w.t
Wajib atas tiap-tiap mukallaf mengetahui sifat-sifat yang mustahil bagi Allah yang menjadi lawan daripada dua puluh sifat yang wajib baginya. Maka dengan sebab itulah di nyatakan di sini sifat-sifat yang mustahil satu-persatu :
1. ‘Adam beerti “tiada”
2. Huduth beerti “baharu”
3. Fana’ beerti “binasa”
4. Mumathalatuhu Lilhawadith beerti “menyerupai makhluk”
5. Qiyamuhu Bighayrih beerti “berdiri dengan yang lain”
6. Ta’addud beerti “berbilang-bilang”
7. ‘Ajz beerti “lemah”
8. Karahah beerti “terpaksa”
9. Jahl beerti “jahil/bodoh”
10. Mawt beerti “mati”
11. Samam beerti “tuli”
12. ‘Umy beerti “buta”
13. Bukm beerti “bisu”
14. Kaunuhu ‘Ajizan beerti “keadaannya yang lemah”
15. Kaunuhu Karihan beerti “keadaannya yang terpaksa”
16. Kaunuhu Jahilan beerti “keadaannya yang jahil/bodoh”
17. Kaunuhu Mayyitan beerti “keadaannya yang mati”
18. Kaunuhu Asam beerti “keadaannya yang tuli”
19. Kaunuhu A’ma beerti “keadaannya yang buta”
20. Kaunuhu Abkam beerti “keadaannya yang bisu”
Sifat Harus Bagi Allah s.w.t
Adalah sifat yang harus pada hak Allah Ta’ala hanya satu sahaja iaitu Harus bagi Allah mengadakan sesuatu atau tidak mengadakan sesuatu atau di sebut sebagai mumkin. Mumkin ialah sesuatu yang harus ada dan tiada.
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Bahagian I: Sifat Nafsiyah:
Wujud, artinya ada, yang ada itu dzat Allah Ta’ala, lawannya ‘Adum, artinya tiada yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada karena jikalau Allah Ta’ala itu tiada niscaya tiadalah perobahan pada alam ini. Alam ini jadilah statis (tak ada masa, rasa dll), dan tiadalah diterima ‘aqal jika semua itu (perobahan) terjadi dengan sendirinya.
Jikalau alam ini jadi dengan sendirinya niscaya jadilah bersamaan pada suatu pekerjaan atau berat salah satu maka sekarang alam ini telah nyata adanya sebagaimana yang kita lihat sekarang ini dan teratur tersusun segala pekerjaannya maka menerimalah aqal kita wajib adanya Allah Ta’ala dan mustahil lawannya tiada. Adapun dalilnya yaitu firmannya dalam Al Qur’an:
Allahu kholiqu kullu syai’in
artinya, Allah Ta’ala jualah yang menjadikan tiap-tiap sesuatu.
Adapun Wujud itu sifat Nafsiyah ada itulah dirinya hak Ta’ala. Adapun ta’rif sifat nafsiyah itu: Hiya huwa wala hiya ghoiruku, artinya, sifat inilah dzat hak Ta’ala, tiada ia lain daripadanya yakni sifat pada lafadz dzat pada makna
Adapun Hakikat sifat nafsiyah itu : Hiya lhalul wajibatu lizzati maadaamati azzatu ghoiru mu’alalahi bi’illati, artinya: hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu tiada dikarenakan dengan suatu karena yakni adanya yaitu tiada karena jadi oleh sesuatu dan tiada Ia terjadi dengan sendirinya dan tiada Ia menjadikan dirinya sendiri dan tiada Ia berjadi-jadian.
Adapun Wujud itu dikatakan sifat Nafsiyah karena wujud menunjukkan sebenar-benar dirinya dzat tiada lainnya dan tiada boleh dipisahkan wujud itu lain daripada dzat seperti sifat yang lain-lain.
Adapun Wujud itu tiga bahagi:
1. Wujud Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala maka wujud-Nya itu tiada permulaan dan tiada kesudahan maka wujud itu bersifat Qadimdan Baqa’, inilah wujud sebenarnya
2. Wujud Mujazi, yaitu dzat segala makhluk maka wujudnya itu ada permulaan dan ada kesudahan tiada bersifat Qadim dan Baqa’, sebab wujudnya itu dinamakan wujud Mujazi karena wujudnya itu bersandarkan Qudrat Iradat Allah Ta’ala
3. Wujud ‘Ardy, yaitu dzat ‘Arodul wujud maka wujudnya itu ada permulaan dan tiada kesudahan seperti ruh, syurga, neraka, Arasy, Kursi dan lain-lain
Adapun yang Mawujud selain Allah Ta’ala dua bahagi
1. Mawujud dalam ‘alam sahadah, yaitu yang di dapat dengan khawas yang lima seperti langit, bumi, kayu, manusia, binatang dan lain-lain
2. Mawujud didalam ‘alam ghaib yang tiada didapat dengan khawas yang lima tetapi didapat dengan nur iman dan Kasaf kepada siapa-siapa yang dikaruniakan Allah Ta’ala seperti Malaikat, Jin, Syaitan, Nur dan lain-lain.
Adapun segala yang Mawujud itu lima bahagi:
1. Mawujud pada Zihin yaitu ada pada ‘aqal
2. Mawujud pada Kharij yaitu ada kenyataan bekas
3. Mawujud pada Khayal yaitu seperti bayang-bayang dalam air atau yang didalam mimpi
4. Mawujud pada Dalil yaitu ada pada dalil seperti asap tanda ada api
5. Mawujud pada Ma’rifat yaitu dengan pengenalan yang putus tiada dapat diselingi lagi terus Ia Ma’rifat kepada Allah Ta’ala
Membicarakan Wujud-Nya dengan jalan dalil:
1. Dalil yang didapat dari Khawas yang lima tiada dapat didustakan
2. Dalil yang didapat dari Khabar Mutawatir tiada dapat didustakan
3. Dalil yang didapat daripada ‘Aqal tiada dapat didustakan
4. Dalil yang didapat daripada Rasulullah tiada dapat didustakan
5. Dalil yang didapat daripada firman Allah Ta’ala tiada dapat didustakan
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Bahagian II: Sifat Salbiyah
Adapun hakikat sifat Salbiyah itu: wahiya dallat ‘alallafiy maalaa khaliyqu billahi ‘aza wajalla, artinya barang yang menunjukkan atas menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala yaitu lima sifat:
1. QIDAM, artinya Sedia
2. BAQA’ artinya Kekal,
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITS artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendiriNya.
5. WAHDANIAH, artinya Esa
1. QIDAM, artinya Sedia
Adapun hakikat Qidam ibarat dari menafikan ada permulaan bagi Wujud-Nya yakni tiada permulaan, lawannya Hudusy artinya baharu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia baharu karena jikalau Ia baharu niscaya jadilah Wujud-Nya itu wujud yang harus, tiadalah Ia wajibal wujud maka sekarang telah terdahulu wajibal wujud baginya maka menerimalah aqal kita wajib baginya bersifat Qadim dan mustahil lawannya baharu , adapun dalilnya firmannya dalam Al Qur’an: huwal awwalu, artinya Ia juga yang awal.
Adapun Qadim nisbah pada nama empat perkara:
a. Qadim Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala
b. Qadim Sifati, yaitu sifat Allat Ta’ala
c. Qadim Idofi, yaitu Qadim yang bersandar seperti dahulu bapa daripada anak
d. Qadim Zamani, yaitu masa yang telah lalu sekurang-kurangnnya setahun
2. BAQA’ artinya Kekal
Adapun hakikat Baqa’ itu ibarat menafikan ada kesudahan bagi Wujud-Nya, yakni tiada kesudahan, lawannya Fana’ artinya binasa yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia binasa, jikalau Ia binasa jadilah Wujud-Nya itu wujud yang baharu, apabila Ia baharu tiadalah Ia bersifat Qadim maka sekarang telah terdahulu bagi-Nya wajib bersifat Qadim maka menerimalah aqal kita wajib bagi-Nya bersifat Baqa dan mustahil lawannya binasa, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wayabqo wajhu robbikauzuljalali wal ikrom, artinya kekal dzat Tuhan kamu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.
Adapun yang Kekal itu dua bahagi:
a. Kekal Haqiqi, yaitu dzat dan sifat Allah Ta’ala
b. Kekal Ardy, yaitu kekal yang dikekalkan, menerima hukum binasa jikalau dibinasakan Allah Ta’ala, karena ia sebahagian daripada mumkinun, tetapi tiada dibinasakan maka kekallah ia, maka kekalnya itu dinamakan kekal ‘Ardy, seperti ruh, arasy, kursi, kalam, lauh mahfudh, surga, neraka, bidadari dan telaga nabi.
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITSI artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu
Adapun Hakikat Mukhalafatuhulilhawadits itu diibaratkan menafikan dzat dan sifat dan af’al Allah Ta’ala dengan segala sesuatu yang baharu, yakni tiada bersamaan dengan segala yang baharu, lawannya Mumassalatuhulilhawadits, artinya bersamaan dengan segala sesuatu yang baharu. Tiada diterima oleh aqal dikatakan Allah Ta’ala itu bersamaan dzat-Nya dan sifat-Nya dan af’al-Nya dengan segala yang baharu, karena jikalau bersamaan dengan segala yang baharu maka tiadalah Ia bersifat Qadim dan Baqa’, sebab segala yang baharu menerima hukum binasa, maka sekarang telah terdahulu wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Qadim dan Baqa’, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat mukhalafatuhulilhawadits, dan mustahil lawannya Mumasalatu lilhawadits, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
laisa kamislihi syaiin wa huwassami’ul bashir, artinya tiada seumpama Allah Ta’ala dengan segala sesuatu dan Ia mendengar dan melihat.
Adapun bersalahan dzat Allah Ta’ala dengan dzat yang baharu karena dzat Allah Ta’ala bukan jirim atau jisim dan bukan jauhar atau ‘aradh dan tiada dijadikan, tiada bertempat, tiada berjihat, tiada bermasa atau dikandung masa dan tiada beranak atau diperanakkan.
Bersalahan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang baharu karena sifat Allah Ta’ala Qadim dan ‘Aum takluknya, seperti Sami’ Allah Ta’ala takluk pada segala yang mawujud.
Adapun sifat yang baharu itu tiada ia Qadim dan tiada ‘Aum takluknya, tetapi takluk pada setengah perkara jua seperti yang baharu mendengar ia pada yang berhuruf dan bersuara dan yang tiada berhuruf dan bersuara tiada ia mendengar atau yang jauh atau yang tersembunyi seperti gerak-gerak yang dalam hati dan begitu jua sifat-sifat yang lain tiada serupa dengan sifat Allah Ta’ala.
Adapun bersalahan perbuatan Allah Ta’ala dengan perbuatan yang baharu karena perbuatan Allah Ta’ala itu memberi bekas dan tiada dengan alat perkakas dan tiada dengan minta tolong dan tiada mengambil faedah dan tiada yang sia-sia.
Adapun perbuatan yang baharu tiada memberi bekas dan dengan alat perkakas atau dengan minta tolong dan mengambil faedah.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya
Adapun hakikat Qiyamuhu binafsihi itu ibarat daripada menafikan berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia, yakni tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan tiada berkehendak kepada yang menjadikannya.
Mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan tiada berdiri dengan sendiriNya, karena Ia zat bukan sifat, jikalau Ia sifat, maka berkehendak kepada tempat berdiri karena sifat itu tiada boleh berdiri dengan sendirinya.
Dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Ia karena Ia Qadim, jikalau berkehendak Ia kepada yang menjadikan Dia, maka jadilah Ia baharu, apabila ia baharu tiadalah ia bersifat Qadim dan Baqa’ dan Mukhalafatuhulilhawadits.
Maka sekarang menerimalah aqal kita, wajib diterima oleh aqal, bagi Allah Ta’ala itu bersifat Qiyamuhubinafsihi dan mustahil lawannya An-laayakuunu ko’imambinafsihi, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Innallaha laghniyyun ‘anil ‘alamiin, artinya Allah Ta’ala itu terkaya daripada sekalian alam.
Adapun segala yang Mawujud menurut berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia itu empat bahagi:
a. Tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia dan tiada berkehendak kepada tempat berdiri, yaitu zat Allah Ta’ala
b. Berdiri pada zat Allah Ta’ala dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia, yaitu sifat Allah Ta’ala
c. Tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala jirim yang baharu
d. Berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala ‘aradh yang baharu
5. WAHDANIAH, artinya Esa
Adapun hakikat Wahdaniah itu ibarat menafikan kammuttasil (berbilang-bilang atau bersusun-susun atau berhubung-hubung) dan kammumfasil (bercerai-cerai banyak yang serupa) pada zat, pada sifat, dan pada af’al.
Lawannya An-yakunu wahidan, artinya tiada ia esa. Mustahil tiada diterima oleh akal sekali-kali dikatakan tiada Ia Esa, karena jikalau tiada Ia Esa tiadalah ada alam ini karena banyak yang memberi bekas.
Seperti dikatakan ada dua atau tiga tuhan, kata tuhan yang satu keluarkan matahari dari barat, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari timur, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari utara atau selatan, karena tiga yang memberi bekas. Tentu kalau tuhan yang satu itu mengeluarkan matahari itu dengan sekehendakknya umpamanya disebelah barat, tentu pula tuhan yang lain meniadakkannya dan mengadakan lagi menurut kehendaknya umpamanya disebelah timur atau utara atau selatan, karena tiga-tiga tuhan itu berkuasa mengadakan dan meniadakan maka kesudahannya matahari itu tiada keluar.
Maka sekarang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana keadaan atau perjalanan didalam alam ini semuanya teratur dengan baiknya maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal Wahdaniah bagi Allah Ta’ala dan mustahil lawannya berbilang-bilang atau bercerai-cerai.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Qul huwallahu ahad, artinya katakanlah oleh mu (Muhammad) Allah Ta’ala itu Esa, yakni Esa zat dan Esa sifat dan Esa Af’al.
Adapun Wahdaniah pada zat menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun seperti dikatakan zat Allah Ta’ala itu berdarah, berdaging dan bertulang urat, atau dikatakan zat Allah Ta’ala itu kejadian daripada anasir yang empat.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa, umpama dikatakan ada zat yang lain seperti zat Allah Ta’ala yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil itulah yang hendak kita nafikan pada zat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua perkara ini maka barulah dikatakan Ahadiyyatuzzat, yakni Esa dzat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada sifat menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun sifat, seperti dikatakan ada pada Allah Ta’ala dua Qudrat atau dua Ilmu atau dua Sami’ yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa seperti dikatakan ada Qudrat yang lain atau Ilmu yang lain seperti Qudrat dan Ilmu Allah Ta’ala.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada sifat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua itu maka baharulah dikatakan Ahadiyyatussifat, yakni Esa sifat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada af’al menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berhubung atau minta tolong memperbuat suatu perbuatan, seperti dikatakan Allah Ta’ala jadikan kuat pada nasi mengenyangkan dan kuat pada air menghilangkan dahaga dan kuat pada api membakar dan kuat pada tajam memutuskan yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak perbuatan yang memberi bekas, seperti dikatakan ada perbuatan yang lain memberi bekas seperti perbuatan Allah Ta’ala, yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada af’al Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua ini maka baharulah kita dikatakan Ahadiyyatull af’al, yakni Esa perbuatan Allah Ta’ala.
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Bahagian III: Sifat Ma’ani
Adapun hakikat sifat Ma’ani itu: wahiya kullu sifatu maujudatun qo’imatun bimaujuudatun aujabat lahu hukman, artinya tiap-tiap sifat yang berdiri pada yang maujud (wajibalwujud / zat Allah Ta’ala) maka mewajibkan suatu hukum (yaitu Ma’nawiyah)
Sifat Ma’ani ini maujud pada zihin dan maujud pula pada kharij, ada tujuh perkara:
1. QUDRAT artinya Kuasa, Takluk pada segala mumkinun
2. IRADAT artinya Menentukan, takluk pada segala mumkinun
3. ILMU artinya Mengetahui, takluk pada segala yang wajib, mustahil dan ja’iz bagi aqal.
4. HAYAT artinya Hidup, tiada takluk, tetapi syarat bagi aqal kita menerima adanya sifat-sifat yang lain.
5. SAMA’ artinya Mendengar, takluk pada segala yang maujud.
6. BASYAR artinya Melihat, takluk pada segala yang maujud.
7. KALAM artinya Berkata-kata
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
1. Qudrat artinya Kuasa
Adapun hakikat Qudrat itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mengadakan dan meniadakan bagi segala mumkin muafakat dengan Iradat-Nya. Adapun arti mumkin itu barang yang harus adanya atau tiadanya
Adapun mumkin itu empat bahagi:
a. Mumkin Maujuud ba’dal ‘adum, yaitu mumkin yang pada masa sekarang, dahulu tiada, seperti: langit, bumi dan kita semuanya.
b. Mumkin Ma’dum ba’dal wujud, yaitu mumkin yang tiada pada masa sekarang ini dahulunya ada, seperti: nabi Adam as, dan datok-datok nenek kita yang sudah tiada.
c. Mumkin sayuzad, yaitu mumkin yang akan datang seperti hari kiamat, syurga dan neraka.
d. Mumkin Ilmu Allah annahu lamyujad, yaitu mumkin yang didalam Ilmu Allah Ta’ala, tetapi tiada dijadikan seperti hujan emas, Air laut rasanya manis, dan banyak yang lain lagi.
Lawannya ‘Ujdzun artinya lemah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu lemah, karena jikalau Ia lemah niscaya tiadalah ada alam ini karena yang lemah itu tiada dapat memperbuat suatu perbuatan. Maka sekarang alam ini telah nyata adanya bagaimana yang kita lihat sekarang ini, maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal, bagi-Nya bersifat Qudrat dan mustahil lawannya ‘Ujdzun.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu ‘ala kulli sai’in-qodir, artinya Allah Ta’ala itu berkuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Qudrat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Qudrat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
2. Iradat artinya Menentukan
Adapun hakikat Iradat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia menentukan sekalian mumkin adanya atau tiadanya,muafakat dengan Ilmu-Nya.
Adapun Iradat Allah Ta’ala menentukan enam perkara:
a. Menentukan mumkin itu Ada atau tiadanya
b. Menentukan Tempat mumkin itu
c. Menentukan Jihat mumkin itu
d. Menentukan Sifat mumkin itu
e. Menentukan Qadar mumkin itu
f. Menentukan Masa mumkin itu
Lawannya Karahat artinya tiada menentukan atau tiada berkehendak, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada menentukan atau tiada berkehendak, karena jikalau tiada Ia menentukan atau tiada Ia berkehendak mengadakan alam ini atau meniadakan alam ini niscaya tiadalah baharu (Berubah) alam ini maka sekarang alam ini telah nyata adanya perubahan, ada siang ada malam, ada yang datang ada yang pergi, seperti yang telah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Iradat dan mustahil lawannya Karahat.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: fa’allu limaa yuriy d’, artinya berbuat Allah Ta’ala dengan barang yang ditentukan-Nya.
Adapun Iradat dengan amar dan nahi itu tiada berlazim karena:
Ada kalanya disuruh tetapi tiada dikehendaki seperti Abu jahal, Abu lahab dan segala pengikutnya.
Ada kalanya disuruh dan dikehendaki seperti Abu Baqa’r dan segala sahabat yang lain.
Ada kalanya tiada disuruh dan tiada dikehendaki seperti kafir yang banyak.
Adakalanya tiada disuruh tetapi dikehendaki seperti mengerjakan yang haram dan makruh seperti Nabi Adam as dan Hawa.
Tetaplah dalam Hakikat Iradat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Iradat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
* Iradat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
* Iradat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
3. Ilmu artinya Mengetahui
Adapun hakikat Ilmu itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia Mengetahui pada yang wajib, pada yang mustahil, dan pada yang harus.
Adapun yang wajib itu zat dan sifatNya, maka mengetahui Ia zatNya dan sifatNya yang Kamalat.
Adapun yang mustahil itu yaitu yang menyekutui ketuhanannya atau yang kekurangan baginya maka mengetahui Ia tiada yang menyekutui bagi ketuhanan-Nya dan yang kekurangan pada-Nya.
Adapun yang harus itu sekalian alam ini maka mengetahui Ia segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi dan tiada terdinding yang dalam Ilmu-Nya sebesar jarah jua pun, semuanya diketahui-Nya dengan Ilmu-Nya yang Qadim
Lawannya Jahil, artinya bodoh, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia Jahil atau bodoh karena jikalau ia Jahil atau bodoh niscaya tiadalah teratur atau tersusun segala pekerjaan didalam alam ini maka sekarang alam ini telah teratur dan tersusun dengan baiknya, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Ilmu dan mustahil lawannya Jahil atau bodoh.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu bikulli syai’in ‘alimun, artinya Allah Ta’ala mengetahui tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Ilmu itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Ilmu Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
4. Hayat artinya Hidup
Adapun hakikat Hayat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia zohirlah sifat yang lain-lain.
Lawannya maut artinya mati, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia mati karena jikalau Ia mati niscaya tiadalah ada sifat yang lain seperti Qudrat, Iradat dan Ilmu maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat hayat dan mustahil lawannya maut.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: huwal hayyuladzii laa yamuut, artinya Dia yang Hidup yang tiada mati.
Tetaplah dalam Hakikat Hayat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Hayat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
* Hayat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Hayat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain)
5. Sami’ artinya Mendengar
Adapun hakikat Sami’ itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mendengar segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau Muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim yaitu dzat dan Sifat-Nya, maka mendengar Ia akan Kalam-Nya yang tiada berhuruf dan bersuara, dan yang muhadas yaitu sekalian alam ini maka mendengar Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi, maka tiada terdinding pendengarannya oleh sebab jauh atau tersembunyi.
Lawannya Sumum, artinya pekak atau tuli yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia pekak atau tuli karena jikalau Ia pekak atau tuli niscaya tiadalah dapat Ia memperkenankan seruan makhluk-Nya padahal Menyuruh Ia kepada sekalian makhluk-Nya dengan meminta seperti firman-Nya dalam Al Qur’an: ud’uunii astajib lakum, artinya mintalah olehmu kepadaKu niscaya Aku perkenankan.
Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Sami’ dan mustahil lawannya Sumum, pekak atau tuli, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu sami’un ‘alimun, artinya Allah Ta’ala itu yang mendengar dan yang mengetahui .
Tetaplah dalam Hakikat Sami’ itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Sami’ Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
6. Bashir artinya Melihat
Adapun hakikat Bashir itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia melihat segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim itu dzat dan sifat-Nya, maka melihat Ia akan dzat-Nya yang tiada berupa dan berwarna dan sifat-Nya yang kamalat.
Adapun mawujud yang muhadas itu sekalian alam ini maka melihat Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang lagi akan diadakan.
Tiada terdinding yang pada penglihatan-Nya oleh sebab jauh atau sangat halusnya atau sangat kelamnya.
Lawannya ‘Umyun, artinya buta, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia buta karena jikalau Ia buta maka jadilah Ia kekurangan. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Taa’la itu bersifat Bashir dan mustahil lawannya ‘Umyun atau buta
Adapun dalilnya firman-Nya dalam AlQur’an: wallahu bashirun bimaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala itu melihat apa yang kamu kerjakan.
Tetaplah dalam Hakikat Bashir itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Bashir Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Bashir Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Bashir Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
7. Kalam artinya Berkata-kata
Adapun hakikat Kalam itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia berkata-kata pada yang wajib seperti firman-Nya: fa’lam annahu laailahaillalah, artinya ketahui oleh mu bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah, dan berkata-kata pada yang mustahil dengan firman-Nya: laukana fiyhima alihatun illallah lafasadatu, artinya jikalau ada tuhan yang lain selain daripada Allah maka binasalah segala-galanya. dan berkata pada yang harus dengan firman-Nya: wallahu holaqokum wamaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala jua Yang menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu.
Lawannya Bukmum, artinya kelu atau bisu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia bisu atau kelu karena jikalau Ia bisu atau Kelu tiadalah dapat Ia menyuruh atau mencegah dan menceritakan segala perkara seperti hari kiamat, syurga, neraka dan lain-lain. Maka sekarang suruh dan cegah itu ada pada kita seperti suruh kita sembahyang dan cegah kita berbuat ma’siat. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala itu bersifat Kalam dan mustahil lawannya bukmum, kelu atau bisu. Adapun dalilnya friman-Nya dalam Al Qur’an: wa kallamallaahu muusa taqlimaan, artinya berkata-kata Allah Ta’ala dengan nabi Musa as dengan sempurna kata.
Adapun Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada Ia berbilang tetapi berbagi-bagi dipandang dari segi perkara yang dikatakan-Nya apabila Ia menunjukkan kepada suruh maka dinamakan amar seperti suruh sembahyang dan puasa dan lain-lain, jika Ia menunjukkannya kepada cegah atau larangan maka dinamakan nahi seperti cegah berjudi., minum arak dan lain-lain, jika Ia menunjukkan pada cerita dinamakan akhbar, seperti cerita raja Fir’aun , Namrudz, dan lain-lain. jika Ia menunjukkan pada khabar gembira dinamakan Wa’ad seperti balas syurga pada orang beriman dan ta’at dan lian-lain, jika Ia menunjukkan pada khabar menakutkan maka dinamakan Wa’id, seperti janji balas neraka dan azab bagi orang yang berbuat maksiat dan kafir.
Tetaplah dalam Hakikat Kalam itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Kalam Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, tiada terdinding dan tiada berhuruf atau bersuara.
* Kalam Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Kalam Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Bahagian IV: Sifat Ma’nawiyah
Adapun hakikat sifat ma’nawiyah itu: hiyal halul wajibatu lidzati madaamati lidzati mu’allalati bi’illati, artinya hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu dikarenakan suatu karena yaitu Ma’ani, umpama berdiri sifat Qudrat pada dzat maka baru dinamakan dzat itu Qadirun, artinya Yang Kuasa, Qudrat sifat Ma’ani, Qadirun sifat Ma’nawiah maka berlazim-lazim antar sifat Ma’ani dengan sifat Ma’nawiah, tiada boleh bercerai yaitu tujuh sifat pula:
1. QADIRUN, artinya Yang Kuasa, melazimkan Qudrat berdiri pada dzat
2. MURIIDUN, artinya Yang Menentukan maka melazimkan Iradat yang berdiri pada dzat
3. ‘ALIMUN, artinya Yang Mengetahui maka melazimkan ‘Ilmu yang berdiri pada dzat
4. HAYYUN, artinya Yang Hidup melazimkan Hayyat yang berdiri pada dzat
5. SAMI’UN, artinya Yang Mendengar melazimkan Sami’ yang berdiri pada dzat
6. BASIRUN, artinya Yang Melihat melazimkan Basir yang berdiri pada dzat
7. MUTTAKALLIMUN, artinya Yang Berkata-kata melazimkan Kalam yang berdiri pada dzat
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Bahagian V: Sifat Istighna
Artinya sifat Kaya, Hakikat sifat Istighna: mustaghniyun ’angkullu maa siwahu, artinya Kaya Allah Ta’ala itu daripada tiap-tiap yang lain.
Apabila dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lain, maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sebelas (11) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sebelas (11) sifat itu maka tiadalah dapat dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lainnya.
Adapun sifat wajib yang 11 itu ialah:
Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Kiyamuhubinafsihi, Sami’, Basir, Kalam, Sami’un, Basirun dan Muttakalimun.
Selain sebelas (11) sifat yang wajib itu ada tiga (3) sifat yang harus (Jaiz) yang termasuk pada sifat Istighna yaitu
1. Mahasuci dari pada mengambil faedah pada perbuatan-Nya atau pada hukum-Nya, lawannya mengambil faedah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau mengambil faedah tiadalah Kaya Ia daripada tiap-tiap yang lainnya karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia pada menghasilkan hajat-Nya
2. Tiada wajib Ia menjadikan alam ini. Lawannya wajib yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau wajib Ia menjadikan alam ini tiadalah Ia Kaya daripada tiap-tiap yang lainnya, karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia kepada yang menyempurnakan-Nya
3. Tiada memberi bekas suatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya. Lawannya memberi bekas yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi sesuatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya tiadalah Kaya Ia pada tiap-tiap yang lainnya karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia mengadakan sesuatu dengan wasitoh
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Bahagian VI: Sifat Ifthikhor
Artinya sifat berkehendak: hakikat sifat Ifthikhor: wamuftaqirun ilaihi kullu maa ’adaahu, artinya berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya.
Apabila dikatakan berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sembilan (9) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sembilan (9) sifat ini maka tiadalah dapat berkehendak tiap-tiap yang lainya kepada-Nya,
Adapun sifat wajib yang sembilan (9) itu adalah:
1. Qudrat
2. Iradat
3. Ilmu
4. Hayat
5. Qodirun
6. Muridun
7. ‘Alimun
8. Hayyun
9. Wahdaniah
Selain dari sembilan (9) sifat yang wajib itu ada dua (2) sifat yang harus termasuk pada sifat Ifthikhor:
1. Baharu sekalian alam ini. Lawannya Qodim yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau alam ini Qodim tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya karena lajim ketika itu bersamaan derejat-Nya
2. Tiada memberi bekas sesuatu daripada kainatnya dengan tobi’at atau dzatnya. Lawannya memberi bekas yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi bekas sesuatu daripada kainat dengan tobi’at niscaya tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya karena lajim ketika itu terkaya sesuatu daripadaNya.
Maka sekarang telah nyata pada kita bahwa duapuluh delapan (28) sifat Istighna dan duapuluh dua (22) sifat Ifthikhar maka jumlahnya jadi limapuluh (50) ‘akaid yang terkandung didalam kalimah laa ilaha ilallaah, maka jadilah makna hakikat laa ilaha ilallaah itu dua: laa mustaghniyun angkullu maasiwahu, artinya tiada yang kaya dari tiap-tiap yang lainnya dan wa muftaqirun ilaihi kullu ma’adahu, artinya dan berkehendak tiap-tiap yang lain kepadaNya.
Ini makna yang pertama maka daripada makna yang dua itu maka jadi empat (4):
1. Wajibal wujud, yaitu yang wajib adanya.
2. Ishiqoqul ibadah, yaitu yang mustahak bagi-Nya ibadah
3. Kholikul ‘alam, yaitu yang menjadikan sekalian alam
4. Maghbudun bihaqqi, yaitu yang disembah dengan sebenar-benarnya.
Ini makna yang kedua maka daripada makna yang empat (4) itu jadi satu (1) yaitu:
Laa ilaha ilallaah, Laa ma’budun ilallah, artinya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya melainkan Allah.
Ini makna yang ketiga penghabisan maka jadilah kalimah laa ilaha ilallaah itu menghimpun nafi dan isbat
Adapun yang dinafikan itu sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor berdiri pada yang lain dengan mengatakan: laa ilaha dan diisbatkan sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu berdiri pada dzat Allah Ta’ala dengan mengatakan kalimah Ilallaah
Laa = nafi, Ilaha = menafi, ila = isbat, Allah = meng-isbat
Yang kedua kalimah laa ilaha ilallaah itu nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi sepeti sabda nabi : laa yufarriqubainannafi wal-isbati wamamfarroqu bainahumaa fahuwa kaafirun, artinya Tiada bercerai antara nafi dan isbat dan barang siapa menceraikan kafir.
Seperti asap dengan api. Asap itu bukan api dan asap itu tidak lain daripada api. Asap tetap asap dan api tetap api: tetapi asap itu menunjukkan ada api inilah artinya nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi. Tiada bercerai dan tiada bersekutu.
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
SIFAT-SIFAT KERASULAN
Adapun sifat yang wajib bagi rasul itu empat (4) perkara dan yang mustahil padanya empat (4) sifat pula dan yang harus padanya satu (1) sahaja:
1. Siddiq, artinya Benar, lawannya Qizib, artinya Dusta yaitu mustahil
2. Amanah, artinya Kepercaan, lawannya Hianat, artinya Tiada Kepercayaan yaitu mustahil
3. Tabligh, artinya Menyampaikan, lawannya Qitman, artinya Menyembunyikan yaitu mustahil
4. Fathonah, artinya Cerdik Bijaksana, lawannya Biladah, artinya Jahil yaitu mustahil
Adapun yang harus padanya satu (1) sahaja, yaitu: ‘Iradul basariyyah, artinya Berperangai dengan perangai manusia yang tiada membawa kekurangan seperti makan, minum beranak, beristri dan sebagainya, lawannya tiada ‘Iradul basariyyah, yaitu Tiada Berperangai dengan perangai manusia yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena kita telah mendengar banyak sekali sejarah atau riwayat nabi semasa hidupnya, istimewa pula orang yang sudah berjumpa dengannya seperti segala sahabatnya seperti Abu Bakar dan sahabat yang lain dan begitu juga segala musuhnya seperti Abu jahal dan Abu lahab
dan ditambah lagi dengan empat (4) perkara pada rukun iman dan lawannya.
Maka jadilah delapan belas (18) Aqa’id yang terkandung didalam kalimah MuhammadurRasuulullaah
1. Percaya akan Malaikatnya, lawannya Tiada percaya
2. Percaya akan Kitab, lawannya Tiada percaya
3. Percaya akan segala Rasul, lawannya Tiada percaya
4. Percaya akan Hari Kiamat, lawannya Tiada percaya
Empat (4) sifat yang wajib bagi rasul dan empat (4) sifat pula yang mustahil padanya dan satu (1) sifat yang harus padanya, lawannya satu (1) pula, ditambah dengan empat (4) pada Rukun Iman dan lawannya empat (4) pula maka dijumlahkan semuanya jadilah delapan belas (18) Aqa’id yang terkandung didalam Sahadat Rasul, maka baharulah jadi Aqa’idul Iman enam puluh delapan (68) yang terkandung didalam Dua Kalimah Syahadat
SUMBER : BERANDAMADINA.WORDPRESS.COM